Jakarta -
China seringkali disebut-sebut jadi kawan dekat bagi Rusia. Namun nyatanya, saat ini China diam-diam 'jaga jarak' dengan Rusia yang sedang dimusuhi banyak negara karena melakukan invasi ke Ukraina.
Hal itu dilakukan semata-mata karena China enggan terkena imbas sanksi ekonomi bila ikut mendukung Rusia. Seperti diketahui, sanksi ekonomi dari banyak negara sudah membuat ekonomi Rusia kalang kabut.
Padahal, kedua negara itu belum lama ini menyatakan bila persahabatan mereka tidak ada batasnya. Pernyataan itu disampaikan tepat sebelum Rusia melancarkan invasinya di Ukraina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari CNN, Jumat (18/3/2022), dengan ekonomi Rusia yang dikecam sanksi dari seluruh dunia, ada kabar yang berkembang bahwa kecil kemungkinan China akan membantu Rusia.
Beijing, pusat pemerintahan China, memang menolak untuk mengutuk serangan Rusia terhadap Ukraina. Namun, mereka menegaskan hal itu bukan berarti China mendukung apa yang sudah dilakukan Rusia.
"China bukan pihak dalam krisis yang terjadi, dan kami tidak ingin sanksi itu mempengaruhi China," kata Menteri Luar Negeri Wang Yi pada Selasa lalu dalam panggilan telepon dengan mitranya dari Spanyol.
Duta Besar China untuk Ukraina Fan Xianrong juga telah menyatakan negaranya tidak akan ikut menyerang Ukraina. Bahkan pihaknya akan mencoba membantu kesulitan Ukraina dari sisi ekonomi.
"China tidak akan pernah menyerang Ukraina. Kami akan membantu, terutama secara ekonomi," kata Fan Xianrong seperti dikutip dalam siaran pers dari pemerintah daerah Lviv.
Kekhawatiran perusahaan China akan ikut kecipratan sanksi yang dikenakan ke Rusia telah berkontribusi pada aksi jual di saham China beberapa hari terakhir.
Apalagi, sebelumnya pejabat AS menyatakan mereka memiliki informasi yang menunjukkan China telah mengungkapkan keinginannya memberikan bantuan militer dan keuangan kepada Rusia. China sendiri sudah menepis kabar itu sebagai sebuah disinformasi.
Para analis meyakini saat ini China sedang berusaha untuk mencapai keseimbangan yang rapuh antara mendukung Rusia secara retoris, tetapi tanpa lebih jauh memusuhi Amerika Serikat.
Beijing dan Moskow berbagi kepentingan strategis dalam menantang Barat. Namun, bank-bank China tidak ingin kehilangan akses ke dolar AS. Industri di China pun tidak mau kehilangan teknologi AS.
Terdapat 4 bukti bahwa China sekarang tengah jaga jarak dengan Rusia. Baca di halaman berikutnya.
Berikut ini ada beberapa bukti yang menguatkan teori China mulai 'jaga jarak' dengan Rusia.
1. Membiarkan Rubel Anjlok
Mata uang China, Yuan, tidak diperdagangkan sepenuhnya dengan bebas. Justru mata uang itu bergerak dalam batas yang ditetapkan oleh pejabat di Bank Rakyat China (PBOC).
Pekan lalu, mereka menggandakan ukuran kisaran perdagangan Rubel. Hal ini memungkinkan mata uang Rusia jadi jatuh lebih cepat.
Rubel telah kehilangan lebih dari 20% nilainya terhadap Dolar AS dan Euro sejak dimulainya perang di Ukraina. Dengan membiarkan mata uang Rusia ikut anjlok nilainya terhadap Yuan menunjukkan bila China enggan membantu kesulitan Rusia.
Bahkan, Rusia harus membayar lebih dalam Rubel untuk impor berbagai macam barang dari China. Misalnya, seperti smartphone dan mobil. Merek ponsel China seperti Xiaomi dan Huawei sangat populer di Rusia, dan bersaing dengan Apple dan Samsung untuk kepemimpinan pasar sebelum perang.
Produsen mobil China, seperti Great Wall Motor dan Geely Auto, menempati 7% pasar Rusia, menjual lebih dari 115.000 kendaraan tahun lalu. Kini, Great Wall Motor pun telah berhenti memasok mobil baru ke dealer di Rusia karena fluktuasi nilai tukar.
2. Menahan Cadangan Devisa Yuan
Bantuan paling signifikan yang dapat ditawarkan China kepada Rusia adalah melalui cadangan devisa senilai US$ 90 miliar yang dimiliki Moskow dalam mata uang Yuan. Hal ini berdasarkan data Alicia García-Herrero, kepala ekonom untuk Asia Pasifik di Natixis.
Sanksi telah membekukan sekitar US$ 315 miliar cadangan devisa Rusia pada mata uang Dolar dan Euro, hal itu terjadi karena negara-negara Barat telah melarang berurusan dengan bank sentral Rusia.
Menteri keuangan Rusia Anton Siluanov mengatakan minggu ini bahwa negara itu ingin menggunakan cadangan Yuan setelah Moskow diblokir untuk mengakses Dolar AS dan Euro. Bank sentral PBOC sejauh ini belum memberikan komentar tentang posisinya terkait permintaan akses cadangan ini.
"Jika China mengizinkan Moskow untuk mengubah cadangan Yuan-nya menjadi Dolar AS atau Euro, itu jelas akan membantu kebuntuan Rusia saat ini," kata García-Herrero.
Namun, hal ini akan jadi risiko besar bagi China. Kemungkinan, bila hal itu dilakukan China bisa ikut-ikutan terkena sanksi ekonomi dari negara-negara barat.
Lanjut di halaman berikutnya.
3. Menahan Suku Cadang Pesawat
Sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa membuat dua pembuat pesawat besar dunia, Boeing dan Airbus, tidak lagi mau memasok suku cadang atau memberikan dukungan perawatan untuk maskapai Rusia.
Artinya, maskapai penerbangan Rusia dapat kehabisan suku cadang dalam beberapa waktu ke depan, atau bahkan mengambil risiko menerbangkan pesawat tanpa harus mengganti peralatan sesering yang direkomendasikan untuk beroperasi dengan aman.
Awal bulan ini, seorang pejabat tinggi Rusia mengatakan bahwa China telah menolak untuk mengirim suku cadang pesawat ke Rusia kala Rusia mencari pasokan alternatif.
Valery Kudinov, kepala kelaikan udara pesawat di badan transportasi udara Rusia mengatakan Rusia akan mencari peluang untuk mendapatkan suku cadang dari negara-negara lain. Misalnya saja dari Turki atau India, setelah upaya gagal untuk mendapatkannya dari China.
China dan Rusia mendirikan usaha patungan penerbangan sipil pada tahun 2017 untuk membangun pesawat penumpang jarak jauh baru. Mereka berusaha untuk menyaingi duopoli Boeing dan Airbus.
Produksi CR929 telah dimulai, tetapi ketidaksepakatan mengenai pemasok telah menyebabkan penundaan. Pesawat itu awalnya diharapkan akan ditawarkan kepada pelanggan pada 2024. Namun Rusia menunda waktunya hingga 2028 atau 2029.
4. Membekukan Investasi Infrastruktur
Bank Dunia telah menghentikan semua programnya di Rusia dan Belarusia setelah invasi ke Ukraina. Mereka belum menyetujui pinjaman atau investasi baru ke Rusia sejak 2014, dan bagi Belarusia hal itu dilakukan sejak 2020.
Justru yang mengejutkan adalah keputusan Bank Investasi Infrastruktur Asia yang berbasis di Beijing menyatakan akan melakukan hal yang sama. Dalam sebuah pernyataan awal bulan ini, mereka mengatakan akan menangguhkan semua kegiatannya yang berkaitan dengan Rusia dan Belarusia saat invasi di Ukraina berlangsung.
Keputusan bank investasi ini untuk menangguhkan kegiatan di Rusia, berarti dapat membuat US$ 1,1 miliar pinjaman yang diusulkan untuk meningkatkan jaringan kereta api di Rusia tidak akan dikucurkan.
Simak Video "Video: Malam Mencekam di Ukraina, Serangan Drone Tewaskan 13 Orang"
[Gambas:Video 20detik]