Irjanto Ongko tak terima dua asetnya disita Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI). Irjanto, anak dari salah satu obligor BLBI Kaharudin Ongko, mengaku tidak pernah terlibat dalam perjanjian Master Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA) pada 18 Desember 1998.
Hal itu dikatakan Kuasa Hukum Irjanto Ongko, Fransiska Xr. Wahon dari kantor hukum FW & Rekan. Atas dasar itu lah kliennya menggugat Satgas BLBI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 7 Juni 2022.
"Sebagai informasi penting bahwa Bpk Irjanto Ongko tidak pernah menjadi ataupun bertindak sebagai obligor dan tidak pernah terlibat urusan BLBI, serta tidak pernah terlibat penandatanganan perjanjian MRNIA tertanggal 18 Desember 1998," kata Fransiska dalam keterangannya yang diterima detikcom, Kamis (23/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fransiska menyebut Irjanto Ongko tidak pernah memanfaatkan atau mempergunakan dana BLBI. Kliennya itu juga dipastikan tidak pernah menerima warisan dalam bentuk apapun yang bisa dikaitkan oleh negara atas aliran dana BLBI.
"Selaku anak dari Kaharudin Ongko, Irjanto Ongko tidak pernah memanfaatkan dan/atau mempergunakan dana BLBI. Sehingga dan karenanya penyitaan yang telah dilakukan oleh Satgas BLBI adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Adapun kepemilikan SHM 553 dan SHM 554 telah dimiliki oleh Bpk. Irjanto Ongko sebelum adanya MRNIA," terang Fransiska.
Atas pertimbangan itu Satgas BLBI dituding telah melakukan pelanggaran. Irjanto Ongko pun telah menyerahkan perkara ini ke PTUN Jakarta dan mengaku akan mengikuti semua prosesnya.
"Bpk. Irjanto Ongko menyerahkan dan mempercayakan sepenuhnya pemeriksaan perkara ini kepada PTUN Jakarta yang dinilai akan berlaku profesional dan objektif dalam menangani dan memeriksa serta memutus perkara," imbuhnya.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Lihat juga Video: Sita Hotel & Lapangan Golf, Mahfud: Tak Puas, Tempuh Jalur Hukum!
Diberitakan sebelumnya, aset Irjanto Ongko yang disita pertama, sebidang tanah seluas 1.825 meter persegi di Jalan Karang Asem Utara Blok C/6 Kav. No. 15 dan 16, RT. 008, RW. 002, Kelurahan Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan berstatus Sertifikat Hak Milik No. 00553, Surat Ukur Nomor 00176/Kuningan Timur/2018, 30 Juli 2018, NIB 09020206.00045.
Kedua, sebidang tanah seluas 1.047 meter persegi di Jalan Mega Kuningan Timur Blok C.6 Kav. No. 14, RT. 008, RW. 002, Kelurahan Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan berstatus Sertifikat Hak Milik No. 00554, Surat Ukur Nomor 00177/Kuningan Timur/2018, tanggal 30 Juli 2018, NIB 09020206.00128.
Irjanto Ongko meminta pengadilan memerintahkan Satgas BLBI agar segera mencabut penyitaan, pemasangan plang sita maupun pelaksanaan penilaian terhadap 2 aset itu. Pasalnya tindakan yang dilakukan dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
"(Juga) Menghukum tergugat (Satgas BLBI) untuk membayar ganti rugi materiil dengan nilai sebesar Rp 216,126 miliar dan ganti rugi imaterial dengan nilai sebesar Rp 1.000," pinta Irjanto Ongko dalam gugatan dikutip dari website PTUN Jakarta.
Selain itu, Irjanto Ongko juga meminta pengadilan menetapkan dan memerintahkan Satgas BLBI agar membayar uang paksa (dwangsom) kepadanya sebesar Rp 1 miliar untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan, sejak putusan diucapkan.
"Menghukum tergugat (Satgas BLBI) untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam sengketa perkara," tutupnya.
(aid/hns)