Inflasi Juni Tertinggi Sejak 2017, Tanda-tanda Krisis Muncul?

Inflasi Juni Tertinggi Sejak 2017, Tanda-tanda Krisis Muncul?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 01 Jul 2022 16:45 WIB
Ilustrasi Uang Receh Konsumsi Rupiah Inflasi Belanja
Inflasi Juni Tertinggi Sejak 2017, Tanda-tanda Krisis Muncul?/Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Inflasi Juni 2022 tercatat 4,35% secara tahunan (year on year/yoy). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ini merupakan yang tertinggi sejak 2017.

BPS menyebut jika inflasi Juni disumbang oleh kenaikan harga cabai merah, cabai rawit, bawang merah dan telur ayam ras.Menanggapi hal tersebut Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menyebutkan kenaikan inflasi yang tinggi bersifat abnormal.

"Karena secara musiman pasca Lebaran idealnya inflasi mulai menurun akibat normalisasi harga pangan," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (1/7/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal stagflasi, yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja. Masih ada 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi COVID-19, di antaranya korban PHK dan masih mengalami pengurangan jam kerja.

Oleh karena itu, menurut dia sudah waktunya pemerintah lebih serius soal pangan, misalnya menambah alokasi subsidi pupuk karena biaya produksi pangan naik akibat harga pupuk mahal.

ADVERTISEMENT

"Pangkas rantai distribusi yang terlalu panjang karena naiknya harga pangan ternyata tidak untungkan petani, yang untung adalah spekulan atau pedagang besar," jelas dia.

Menurut Bhima, jaring pengaman sosial khususnya bantuan selama pandemi COVID-19 harus dilanjutkan agar 40% kelompok paling bawah bisa terlindungi dari stagflasi. Pemerintah juga perlu naikkan serapan kerja di sektor industri manufaktur maupun UMKM dengan bauran kebijakan.

"Soal energi sebaiknya Pemerintah tahan dulu pembatasan subsidi BBM, LPG 3 kilogram (kg), dan tarif listrik. APBN kan masih surplus Rp 132 triliun per Mei," jelas dia.

Inflasi tinggi jadi tanda krisis? Cek halaman berikutnya.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan kenaikan inflasi memang sudah diperkirakan mengikuti kenaikan harga komoditas global dan inflasi tinggi di banyak negara.

"Tapi tingkat inflasi saat ini masih sangat aman, masih jauh dari tanda-tanda Krisis. Tingkat inflasi masih di kisaran 4%. Masih rendah dibandingkan inflasi di negara maju yang sudah di kisaran 8-9%. Apalagi kalau dibandingkan Turki yang sudah hyper inflasi di atas 80%," jelas dia.

Piter menyebutkan meskipun masih rendah, ada potensi inflasi masih akan meningkat tajam ke depan. Hal ini bisa terjadi apabila pemerintah menaikkan harga barang subsidi, Pertalite, LPG 3 kg, dan listrik 900 VA.

Menurut dia ini bisa memicu ekspektasi inflasi meningkat dan membuat lonjakan inflasi yang liar. "Inflasi bisa melonjak di atas 6%. Ini yang harus dihindari oleh pemerintah dan BI," jelasnya.

Piter menambahkan pemerintah nampaknya sudah mengantisipasi dengan tidak menaikkan harga Pertalite dan LPG 3 kg dengan mengatur distribusi melalui aplikasi MyPertamina agar tepat sasaran.

"BI diharapkan juga menahan inflasi dengan kebijakan moneter yang lebih ketat. Termasuk dengan menaikkan suku bunga acuan pada waktunya," jelasnya.


Hide Ads