Hambat Ekspor dan Bikin Harga di Petani Jeblok, Pungutan Sawit Perlu Disetop?

Hambat Ekspor dan Bikin Harga di Petani Jeblok, Pungutan Sawit Perlu Disetop?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Senin, 11 Jul 2022 14:10 WIB
Workers load palm oil fresh fruit bunches to be transported from the collector site to CPO factories in Pekanbaru, Riau province, Indonesia, April 27, 2022. REUTERS/Willy Kurniawan
Foto: REUTERS/WILLY KURNIAWAN
Jakarta -

Anjloknya harga sawit semakin membuat petani resah. Petani sawit di Lampung misalnya, mereka mengeluhkan langsung ke Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahwa harga tandan buah segar (TBS) sawit yang dibeli oleh pabrik-pabrik pengolahan masih ada yang di bawah Rp 1.600/kg.

Kondisi ini tak lepas dari makin menipisnya kemampuan pabrik-pabrik pengolahan menyerap sawit petani. Maklum saja, saat ini tangki-tangki penyimpanan di pabrik pengolahan sudah penuh sehingga tak ada lagi ruang untuk menyerap sawit petani.

Juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Kalimantan Timur Azmal Ridwan mengatakan, penyebab dari tangki yang penuh itu ialah pabrik kelapa sawit (PKS) kesulitan menjual CPO karena ekspor yang masih tersendat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tiga hari sampai lima hari lagi kalau dibiarkan (tangki penyimpanan CPO) penuh. Itu masalah kita sekarang," kata Azmal dalam keterangannya, Jumat (08/07/2022) lalu.

Pemicunya tak lain karena aktivitas ekspor sawit masih seret lantaran masih banyak hambatan seperti salah satunya adalah adanya beragam pungutan dan bea yang memberatkan aktivitas ekspor.

ADVERTISEMENT

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara pungutan ekspor sawit sekaligus meninjau alokasi dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ) yang dia nilai sudah jauh menyimpang.

"Petani sawit sudah menjerit dan meminta agar pungutan ekspor dihentikan karena imbasnya ke harga jual TBS. Hentikan dulu pungutan ekspor dan penggunaan dana yang dihimpun BPD
PKS untuk bio diesel," tegasnya.

Menurut Hamdan, Undang-undang no 39 tentang Perkebunan memang membolehkan adanya penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan. Namun tidak ada peruntukan bagi subsidi
bio diesel.

Dalam pasal 93 penggunaannya untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan, Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan.

Dalam perkembangan berikutnya, lanjut Hamdan, lahir PP No. 24, tanggal 25 Mei 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.

Dalam pasal 9 diatur penggunaan dana, salah satunya untuk bahan bakar nabati (biofuel). Diluar itu, juga digunakan pengembangan Perkebunan, pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan, dan hilirisasi industri Perkebunan.

"Dari aturan tersebut jelas, dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke
petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," tegasnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Hamdan mengingatkan bahwa tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit.

"Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyak
goreng," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, dua organisasi petani sawit yakni Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta
pemerintah bertindak cepat melakukan pencabutan aturan penghambat ekspor dan kebijakan pungutan ekspor.

Hal tersebut selain berdampak pada rendahnya penyerapan TBS sawit petani juga pada anjloknya harga jual. Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung (9/7) harga TBS yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan adalah Rp 2.392 per kg, ini rata-rata terhadap 22 provinsi penghasil sawit.

Namun, harga riil pembelian di tingkat petani lebih rendah dan turun terus.

"Umumnya petani sekarang mengambil kebijakan tidak memanen. Upah memanen hingga pengiriman itu lebih mahal. Sekarang harga 1 kg TBS nggak cukup bayar parkir, kan kejam sekali," tukas Gulat.

Dimana, harga pembelian per kilogram TBS pada 4 Juli 2022 rata-rata Rp 916 di petani swadaya dan Rp 1.259 di petani plasma/ bermitra. Pada 5 Juli 2022, harga itu turun menjadi Rp898 di petani swadaya dan Rp 1.236 di petani bermitra/ plasma. Harga kembali turun pada 6 Juli 2022, menjadi Rp 811 di petani swadaya dan Rp 1.200 di petani mitra/ plasma.


Hide Ads