Direktur Utama PT Titan Infra Energy (TIE) Darwan Siregar menegaskan persoalan antara pihaknya dan kreditur sindikasi, khususnya Bank Mandiri, adalah persoalan restrukturisasi normal antara kreditur dan debitur. Menurutnya, kalaupun kasus ini sampai ke ranah hukum maka akan tergolong perdata, bukan hukum pidana.
"Dalam masa COVID-19 ini tidak ada keanehan sama sekali kalau terjadi penjadwalan ulang pembayaran utang. Hanya karena aset-aset Titan di Sumsel yang demikian menarik maka banyak sekali khalayak tertentu yang ingin mengambilnya. Kebetulan Titan ada masalah di bank (minta restrukturisasi utang), maka ada kesempatan pihak tertentu untuk mengail di air keruh," ungkap Darwan dalam keterangan tertulis, Jumat (15/7/2022).
Ia mengatakan karena kreditur yang terlibat bukan hanya satu bank saja, maka upaya jahat mengambil alih aset TIE tidaklah mudah sehingga perseroan dibenturkan oleh sejumlah masalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masalah pertama terjadi di tahun 2020, dilakukan penyelidikan atas kegiatan kerja Titan di Sumsel dan akhirnya didapatkan temuan atas laporan bekas oli yang dibuang sembarangan oleh pekerja di sana (lalai tidak dimasukkan ke tempat seharusnya)," terang Darwan.
"Maka temuan ini dijadikan perkara untuk tekanan atas tindak pidana perusakan lingkungan hidup. Tapi case ini bisa diselesaikan dengan damai," sambungnya.
Masalah kedua yang jauh lebih serius, lanjut Darwan, yaitu tuduhan penggelapan dan pencucian uang sebesar Rp 109 miliar. Padahal dana yang dimaksud digunakan untuk operasional perusahaan yang terdampak akibat pandemi COVID-19, dan rekeningnya pun ada di Bank Mandiri.
Sebagai informasi, kasus ini dianggap pidana penggelapan lantaran pembayaran dari pelanggan yang seharusnya melalui collection account (sesuai perjanjian), namun ada beberapa pelanggan yang langsung melakukan transfer ke operating account.
"Padahal jumlahnya tidak banyak. Jadi dianggap tidak sesuai dengan agreement. Hal ini yang dianggap penggelapan pencucian uang, padahal dua akun tersebut adanya di Bank Mandiri," ujar Darwan.
"Lawyer Titan sudah menyampaikan dari saat pertama dilakukan penyelidikan, kalau case ini dituduhkan melakukan penggelapan seharusnya ada yang dirugikan, yaitu lenders. Tapi nyatanya tidak ada keluhan ataupun laporan Lenders," lanjutnya.
Darwan mengungkapkan ada bukti tertulis bahwa para kreditur tidak pernah mengajukan kasus ini ke penegak hukum.
"Jadi munculnya case ini tidak diketahui dari mana datangnya. Hal yang menarik pertama mereka bilang datangnya dari Bank Mandiri. Karena terbukti tidak, diganti dikatakan datangnya dari BPK, karena ini juga tidak, akhirnya katanya datang dari laporan seseorang," jelasnya.
Ia juga merasa heran mengapa persoalan ini bisa menjadi dugaan pidana yang dibawa ke penegak hukum, padahal persoalannya tidak sesuai dengan perjanjian.
"Ini yang sangat mengherankan. Lenders sudah mengirimkan auditor. Kegiatan dan pembayaran revenue yang dipermasalahkan penegak hukum semuanya sudah diketahui lenders, maka adalah aneh kalau penegak hukum keberatan sedangkan lendersnya tidak," kata Darwan.
"Karena semua kegiatan operasional atau penjualan ditransfer ke akun di Bank Mandiri, bagaimanapun ini seharusnya adalah perkara perdata, bukan pidana," imbuhnya lagi.
Klik halaman selanjutnya >>>
Berkat fakta tersebut, tutur Darwan, kasus ini bisa dihentikan dengan diterimanya SP3 dari Bareskrim Polri. Akan tetapi, masalah kembali muncul di Januari 2022, ketika Titan kembali dipanggil Bareskrim dengan tuduhan yang sama persis seperti kasus sebelumnya.
"Kali ini yang mengadukan adalah Bank Mandiri. Statusnya kemudian menjadi penyidikan," ungkapnya.
Darwan mengurai sejumlah kejanggalan dalam kasus yang dilaporkan Bank Mandiri ini. Di antaranya, kasus yang dilaporkan Bank Mandiri dan kasus sebelumnya yang penyelidikannya sudah dihentikan.
"Sudah SP3. Kok kasus dibuka kembali tapi tidak ada novum baru," terang Darwan tentang kasus yang akhirnya dimenangkan TIE lewat gugatan praperadilan melawan Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Juni 2022 lalu.
Mengutip sejumlah pakar hukum, Darwan menyebut kasus kali ini adalah murni perdata. "Ini murni perselisihan antara debitur dan kreditur yang sudah diatur penyelesaiannya yaitu melalui arbitrase," tegasnya.
Saat membaca amar putusan praperadilan yang memenangkan Titan, Hakim PN Jaksel juga mengacu pada keterangan saksi ahli Guru Besar Ilmu Pidana Fakultas Hukum UGM Profesor Marcus Priyo Gunarto yang dihadirkan pada persidangan, Jumat (17/6).
Marcus menegaskan polisi tidak bisa menyidik kembali perkara dengan tempus dan locus delicti, pemeriksaan para pihak, serta pasal-pasal yang diterapkan sama dengan penyidikan sebelumnya.
"Mengacu pada nebis in idem, apa yang dilakukan pihak penyidik dikategorikan sama. Karena itu permohonan pemohon harus diterima," kata Hakim Anry dalam persidangan di PN Jaksel.
Bank Mandiri: Kami Tidak Menzalimi Debitur
Sementara itu, VP Corporate Communication Bank Mandiri Ricky Andriano menegaskan para peserta kredit sindikasi bukanlah rentenir atau pinjol ilegal. Artinya, seluruh keputusan yang telah disepakati keempat institusi keuangan tersebut sudah melalui proses penilaian yang menyeluruh.
"Tidak mungkin keempat lembaga keuangan ini menzalimi debiturnya sendiri, karena hidup bank justru dari debitur," pungkasnya.
Ia menambahkan Bank akan berupaya keras kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya jika debitur memiliki kemampuan membayar.
Sebaliknya, bila ada faktor force majeur tentunya bank akan melakukan restrukturisasi berupa rescheduling pembayaran, discount, dan opsi keringanan lainnya. Termasuk, ikut membantu mencarikan investor baru untuk meringankan beban debitur.