Kesaksian Nakhoda Kapal Diterjang Ombak 11 Meter di Laut China Selatan

Tapal Batas

Kesaksian Nakhoda Kapal Diterjang Ombak 11 Meter di Laut China Selatan

Jihaan Khoirunnissa - detikFinance
Minggu, 14 Agu 2022 20:25 WIB
Kepulauan Anambas -

Pekerjaan seorang nakhoda tidaklah mudah. Karena ia harus siap jauh dari keluarga. Terlebih tugas dan tanggung jawab yang diemban. Sebagai kapten, peran nakhoda sangat penting dalam sebuah kapal. Ia diibaratkan kepala yang memegang kendali atas bagian tubuh lainnya.

Kapten Teras BRI Kapal Ronny Robert Jacob (Ronny) mengatakan nakhoda juga bertanggung jawab menjamin keselamatan seluruh awak kapal.

"Memang tugas nakhoda harus sepenuhnya bertanggungjawab dengan keselamatan crew, aset, dan keselamatan pelayaran. Kalau bicara berat dan ringan, kita bisa lewati karena kita sudah melewati masa pendidikan. (Saya belajar) bagaimana menjadi nakhoda yang bertanggungjawab," katanya kepada detikcom kala kapal bersandar di Pulau Letung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ronny sudah menjadi nakhoda selama kurang lebih 20 tahun. Selama kurun waktu tersebut, ia telah mengarungi banyak lautan di berbagai belahan dunia mulai dari laut Indonesia, Asia, hingga Timur Tengah. Sebelum akhirnya 'berlabuh' dan mengabdikan diri di kapal Bahtera Seva milik BRI yang memberikan layanan perbankan di sekitar Kepulauan Anambas.

"Saya sudah sekitar 20 tahun jadi nakhoda. Saya sudah sering jadi kapten di luar negeri. Saya rata-rata di luar negeri. Saya jadi nakhoda di Timur Tengah, Ghana, Kongo, semua di dalam Teluk Persia, ada Iran, Irak, Qatar. Jadi pengalaman nakhoda saya banyak di sana. Terus di Asia itu ada Thailand, Myanmar," jelasnya.

ADVERTISEMENT

"Jadi Bahtera Seva justru kapal yang saya datangi terakhir setelah berlayar 17 tahun di luar negeri," imbuh Ronny.

Kapten Teras BRI Kapal Ronny Robert JacobKapten Teras BRI Kapal Ronny Robert Jacob Foto: detikcom/Rafida Fauzia

Adapun kebanyakan kapal yang dibawa Ronny yaitu kapal berukuran sedang milik perusahaan minyak. Sebut saja Iranian Offshore Oil Company (IOC), Dubai Petroleum Company (DPC), hingga Aramco yang merupakan perusahaan minyak raksasa milik negara Arab Saudi.

"Saya (juga pernah) layani di Tanzania, itu kapal untuk pariwisata Maldives. Rata-rata bukan kapal besar. Tapi sebelumnya (waktu) saya mualim itu saya berlayar di kapal besar, kapal kargo. Dari cilegon muat besi ke Okinawa, Nagasaki (Jepang)," tuturnya.

Sebagai nakhoda atau kapten kapal, Ronny menyebut deburan ombak hingga terjangan badai di perjalanan sudah menjadi 'makanan' sehari-hari. Meski tak mudah, namun menurutnya dari berbagai rintangan tersebut ia belajar. Sebab seorang nakhoda yang hebat tidak terlahir begitu saja dari lautan tenang.

Lebih lanjut dia menceritakan pengalamannya terjebak di tengah badai saat bertugas di Laut China Selatan 10 tahun silam, tepatnya di Thailand.

"Di Thailand bulan Oktober 2010, saya masuk di dalam circle angin kencang. Saya di tengahnya. Nggak bisa lari. Itu ombaknya sampai 11 meter. Itu kalau dilihat (seperti) di video-video, itu ombak raksasa menghajar kapal," paparnya.

Menurut Ronny kondisi Laut China Selatan memang menantang, bahkan cukup ditakuti oleh para pelaut. Sebab cuaca di sana terbilang ekstrem dan sulit diprediksi. Selain itu juga rawan terjadi badai dan ombak tinggi hingga 6-7 meter.

Situasi itulah yang kembali ia hadapi ketika memutuskan membawa Teras BRI Kapal berlayar ke 6 pulau di wilayah Kepulauan Anambas. Mengingat lokasi kepulauan tropis ini yang juga terletak di perbatasan Laut China Selatan.

Kapten Teras BRI Kapal Ronny Robert JacobKapten Teras BRI Kapal Ronny Robert Jacob Foto: detikcom/Rafida Fauzia

Diakui Ronny sebelum menjadi nakhoda Bahtera Seva, dia sempat berencana untuk pensiun di tahun 2018. Tapi kemudian ia mendapat tawaran untuk mengemudikan kapal BRI dengan rute Makassar-Pinang.

"Tahun 2018 kemarin saya sudah rencana untuk berhenti kerja, nggak berlayar lagi. Tapi mungkin karena panggilan jiwa ya, jadi saya ingin berlayar lagi, suka berlayar lagi," kata dia.

Ternyata, perjalanan dengan kapal BRI membuatnya nyaman karena waktu berlayar yang terbilang singkat. Ditambah frekuensi bekerja pun cukup seimbang, yakni 4 bulan berlayar dan 2 bulan cuti. Dengan begitu ia punya waktu cukup panjang untuk berkumpul dan mengobati kerinduan dengan keluarga di rumah.

"Waktu 4 bulan juga sudah masuk prosedur IMO (International Maritime Organization). Jadi BRI sudah sangat bagus memberikan waktu 4 bulan bekerja, dan 2 bulan cuti," tutur dia.

Meski dari sisi penghasilan menjadi nakhoda di luar negeri lebih menjanjikan. Namun, bagi Ronny yang terpenting adalah lingkungan dan kenyamanan dalam menjalani pekerjaan.

"Selama di sana, terutama di Timur Tengah ekonomi bagus, gaji lebih bagus. Saya pernah dapat gaji sekitar USD 206 per hari. Kalau sekarang mungkin gajinya sekitar Rp 130 juta. Cuma saya rasa uang itu relatif saja. Tinggal bagaimana kita mengaturnya," kata Ronny.

"(Di sini) yang enak, alamnya, pulau-pulaunya. Orang-orangnya juga iya (ramah). Jadi betahlah kami. Udara juga belum tercemar karena kepulauan," pungkasnya.

detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!

(ega/ega)

Hide Ads