Jakarta -
Gaya hidup serba hemat dan meminimalkan pengeluaran kini menjadi tren bagi anak-anak muda di China. Anak-anak muda yang tadinya dikenal dengan gaya hidup boros alias konsumerisme yang tinggi di China mulai mengalihkan gaya hidupnya.
Anak-anak muda mulai menahan diri membeli kopi Starbucks. Bahkan untuk urusan kosmetik, beberapa wanita memilih mengganti bedaknya dari merek ternama menjadi merek lokal yang jauh lebih murah.
Doris Fu menjadi salah satu anak muda yang melakukan gaya hidup serba hemat baru-baru ini. Wanita berusia 39 tahun yang menjadi konsultan pemasaran di Shanghai itu telah meninggalkan gaya hidup glamornya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, Fu kini justru sedang berusaha memotong pengeluaran dan menabung seberapa pun dia bisa di China. Fu melihat ekonomi negaranya berada di ambang ketidakpastian, lockdown di mana-mana, pengangguran makin tinggi, dan pasar properti pun mulai goyah.
Fu pun telah mengurangi perawatan tubuh, dia sudah berhenti melakukan perawatan kuku alias manikur. Dia juga mengatakan dirinya telah mengganti merek bedak riasnya dari Givenchy ke merek lokal bernama Florasis, yang harganya sekitar 60% lebih murah.
"Saya tidak lagi memiliki manikur, saya tidak menata rambut saya lagi. Saya telah pergi ke China untuk semua kosmetik saya," kata Fu dilansir dari Reuters, Senin (19/9/2022).
Bukan cuma gaya hidup saja yang berubah. Fu pun kini telah menyerahkan untuk membeli apartemen baru yang lebih bagus demi menghemat uang. Dia juga menyatakan telah berhenti mengupayakan untuk menaikkan kelas mobilnya yang cuma Volkswagen Golf keluaran lama.
"Mengapa saya tidak berani memperbarui tempat tinggal dan mobil saya, bahkan jika saya punya uang? Itu karena semuanya makin tidak pasti," kata Fu.
Sementara itu, masyarakat lainnya, Yang Jun kini memulai sebuah grup bernama Low Consumption Research Institute di situs jejaring Douban pada 2019. Dalam komunitas online itu, Yang Jun dan orang-orang lainnya membahas dan mendiskusikan cara-cara hidup hemat pas-pasan demi menjaga kesehatan keuangan. Grup tersebut telah menarik lebih dari 150.000 anggota.
Yang sendiri mengatakan dirinya memang sudah memotong pengeluaran dan bahkan menjual beberapa barangnya di situs bekas untuk mengumpulkan uang simpanan. Bahkan, Yang juga bercerita dirinya juga menghentikan kebiasaan 'ngopi' di Starbucks demi berhemat.
Dia juga telah berhenti melakukan kebiasaan berhutang untuk membeli sesuatu. Pasalnya, Yang mengaku dirinya pernah terlilit utang karena hal itu.
Pria 28 tahun itu pesimis dengan keadaan ekonomi China. Mencari uang di China menurutnya makin sulit. Makanya, apabila mendapatkan uang, kini harus segera ditabung.
"COVID-19 membuat orang pesimis. Anda tidak bisa hanya seperti sebelumnya, menghabiskan semua uang yang Anda hasilkan, dan membuatnya kembali lagi bulan depan," ungkap Yang.
Gaya hidup berhemat di China memang menjadi tren besar baru-baru ini. Para influencer media sosial pun secara tak terstruktur mulai menggembar-gemborkan gaya hidup berbiaya rendah dan berbagi kiat menghemat uang.
Namun trend gaya hidup hemat ini memberikan masalah baru bagi ekonomi China. Baca di halaman berikutnya.
Berhemat Jadi Masalah Ekonomi Baru
Tapi, nyatanya gaya hidup hemat ini justru merupakan ancaman bagi ekonomi China yang menjadi kapasitas terbesar kedua di dunia itu.
Masalahnya adalah, belanja konsumen menyumbang lebih dari setengah PDB China. Apabila lebih banyak orang menahan belanja, pertumbuhan ekonomi bisa melorot. Bukan tidak mungkin kontraksi ekonomi terjadi. Lalu, apabila pelemahan ekonomi terjadi selama beberapa kuartal berturut-turut, negeri Bambu bakal terjun ke jurang resesi.
"Kami telah memetakan perilaku konsumen di sini selama 16 tahun dan perilaku saat ini dari para konsumen muda menjadi yang paling mengkhawatirkan yang pernah saya lihat," kata Benjamin Cavender, direktur pelaksana China Market Research Group (CMR).
Kebijakan 'nol-COVID' China, termasuk penguncian ketat dan pembatasan perjalanan telah berdampak besar pada ekonomi negara itu. Pergerakan ekonomi makin terbatas, perusahaan pun menahan ekspansinya. Belum lagi, tindakan keras pemerintah terhadap perusahaan teknologi besar juga berdampak besar pada tenaga kerja muda.
Dua hal itu membuat kondisi tenaga kerja di China terancam. Karena ketidakpastian ekonomi beberapa anak muda terpaksa harus diberikan pemotongan gaji oleh perusahaan. Hal ini terjadi di sektor ritel dan e-commerce.
Gaji rata-rata di 38 kota besar China turun 1% dalam tiga bulan pertama tahun ini, menurut data yang dikumpulkan oleh perusahaan rekrutmen online Zhilian Zhaopin.
PHK juga berlangsung di mana-mana dan mendorong peningkatan pengangguran di China. Data pemerintah mencatatkan pengangguran di antara orang berusia 16 hingga 24 tahun mencapai hampir 19% saat ini. Bahkan di bulan Juli menciptakan rekor tertinggi di angka 20%.
Kondisi-kondisi macam itu membuat beberapa anak muda kini lebih suka menabung daripada berbelanja secara royal. Hampir 60% orang sekarang cenderung untuk menabung lebih banyak di China.
Mereka menahan konsumsi ataupun berinvestasi lebih banyak. Hal ini tercatat dalam survei triwulanan terbaru oleh People's Bank of China (PBOC), bank sentral China.
Penjualan ritel di China pun melambat, naik hanya 2,7% secara tahunan di bulan Juli. Sempat pulih menjadi 5,4% pada bulan Agustus tetapi masih jauh di bawah level pra pandemi. Di 2019, penjualan ritel dapat tumbuh hingga 7%.
China telah lama mengandalkan peningkatan konsumsi untuk mendorong pertumbuhan. Konsumerisme alias gaya hidup boros memang didorong demi peningkatan pertumbuhan ekonomi di negeri bambu. Hal itu didorong oleh kenaikan upah, kredit mudah, dan belanja online juga dengan berbagai kemudahannya.
"Di tengah pasar kerja yang sulit dan tekanan ekonomi yang kuat, perasaan tidak aman dan ketidakpastian kaum muda adalah sesuatu yang tidak pernah mereka alami," kata Zhiwu Chen, ketua profesor keuangan di Hong Kong University Business School.
Tak ayal China adalah satu-satunya negara dengan ekonomi terkemuka yang memangkas suku bunga tahun ini. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk memacu pertumbuhan.
Bank-bank besar milik negara China memangkas suku bunga deposito pribadi pada 15 September, sebuah langkah yang dirancang untuk mencegah tabungan dan meningkatkan konsumsi.
Bukan cuma lewat suku bunga, China juga telah mengambil berbagai langkah dengan harapan meningkatkan konsumsi. Mulai dari subsidi untuk pembeli mobil hingga voucher belanja, jauh lebih banyak uang dan perhatian telah diarahkan pada infrastruktur sebagai cara untuk merangsang ekonomi.
Simak Video "Tukar Tambah Online Lebih Mudah, Tinggal Duduk Manis di Rumah! "
[Gambas:Video 20detik]