Baru-baru ini Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin. Hal ini dilakukan untuk menekan inflasi yang melonjak tajam hingga ancaman inflasi.
Sementara itu Bank Indonesia baru saja mengumumkan kenaikan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 4,25%.
Bank Dunia pun memprediksi ekonomi global akan mengalami resesi tahun depan. Penyebabnya karena banyak bank sentral di seluruh dunia memutuskan untuk menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senior Economist DBS Bank Radhika Rao mengatakan, meski kondisi perekonomian global kini tengah memburuk bahkan beberapa negara telah jatuh dalam inflasi yang mencapai angka dua digit, Indonesia masih tergolong aman. Ekonomi RI tertolong dengan surplus dari komoditas dan angka konsumsi yang meningkat.
"Surplus perdagangan barang pada Agustus melonjak menjadi US$ 5,8 miliar, berlawanan dengan neraca perdagangan yang diekspektasikan akan mengecil. Ini menandai surplus tertinggi kedua yang pernah tercatat, didorong oleh penjualan bahan bakar mineral, baja, serta penjualan minyak nabati yang lebih tinggi," jelas Radhika di Capital Place, Jakarta, Kamis (22/09/2022).
Radhika juga mengatakan, beberapa waktu sebelumnya jajaran Bank Indonesia juga telah menyatakan untuk tidak mengikuti pergerakkan agresif dari The Fed dan hanya akan melakukan beberapa langkah pengetatan kebijakan.
"Saya pikir BI akan melakukan apa yang diperlukan untuk inflasi dan mata uangnya. Jadi pada dasarnya musyawarah lokal menjadi lebih penting daripada apa yang dilakukan oleh The Fed. Kemudian, ekonomi lokal akan tumbuh. Namun hal itu mungkin tidak serta merta berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga," jelasnya.
Di sisi lain, kenaikan harga BBM kemarin membuat masyarakat Indonesia sempat kaget hingga dan menyebabkan penurunan kepercayaan diri konsumen dalam berbelanja. Meski harga bahan bakar yang tinggi mempengaruhi konsumsi, ia meyakini kenaikan suku bunga BI tidak mempengaruhinya.
Ia memprediksi, BI akan menaikkan suku bunga setidaknya empat kali lagi, yakni di bulan September hingga Desember. Namun, ia meyakini dampaknya hanya sementara, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat di tahun depan.
Baca juga: Apakah AS Sudah Resesi? Ini Jawabannya |
"Yang perlu diketahui, kondisi ini tidak akan kembali ke pada saat level pandemi kemarin. Pemerintah dapat memotong beberapa anggaran untuk menunjang masa pandemi kemarin seperti anggaran kesehatan, subsidi. Saya pikir pemerintah akan menghabiskan lebih banyak pada infrastruktur dan proyek sosial," kata Radhika.
Sementara dari sektor perbankan sendiri, Ia mengatakan, kondisi likuiditas di Indonesia masih cukup mendukung di mana angka pinjaman masih cukup rendah. Artinya, suku bunga acuan tinggi dari BI tidak serta merta berdampak pada konsumsi.
"Likuiditas di sektor perbankan masih sangat convertible, dibandingkan dengan tingkat pra pandemi. Jadi itulah mengapa sebagian besar dari bank besar belum bertindak melakukan perubahan secara besar-besaran. Jika dibandingkan dengan negara lain, di beberapa negara likuiditas hilang dalam defisit. Begitulah kondisi di negara lain," ungkapnya.
(das/das)