Punya Hubungan Dagang Erat, Bahayakah RI Jika China Krisis?

Punya Hubungan Dagang Erat, Bahayakah RI Jika China Krisis?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Kamis, 06 Okt 2022 16:06 WIB
Bendera China
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Perekonomian China tengah berada pinggir jurang krisis. RI sendiri memiliki kedekatan dalam hal hubungan dagang. Lalu jika China krisis apakah akan menjalar ke Indonesia?

China sendiri termasuk ke dalam mitra dagang utama RI. Tercatat dalam data Badan Pusat Statistik per Agustus 2022, nilai impor Indonesia dari China mencapai US$ 6,596 triliun atau setara Rp 100,26 ribu triliun (kurs Rp 15.200). Jumlah ini mencakup hampir 1/3 total nilai impor RI.

Sementara, untuk nilai ekspor RI per bulan yang sama ke China, mencapai US$ 6,398 triliun atau setara Rp 97,25 ribu triliun, yang juga mencapai hampir 1/4 total nilai ekspor RI pada bulan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak hanya itu, dalam catatan detikcom pada April lalu, China menduduki posisi ke-3 untuk nilai investasi asing terbesar, dengan nominal mencapai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 21,28 triliun. Posisinya ini persis di bawah Hong Kong yang berada di urutan ke-2, dan Singapura di posisi ke-1.

Hubungan dagang yang begitu besar itu membuat Indonesia juga rentan terimbas jika China mengalami krisis. Hal itu pun diakui oleh Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS Bhima Yudhistira.

ADVERTISEMENT

"China memiliki porsi 30% sebagai asal impor dan 20% sebagai tujuan ekspor utama produk-produk dari Indonesia. Kalau China mengalami property bubble, mengalami tekanan pada industri pengolahan, maka permintaan bahan baku dari Indonesia juga akan terganggu," terang Bhima kepada detikcom, Kamis (06/10/2022).

Bhima pun menyoroti pabrik-pabrik mobil listrik yang ada di China. Tekanan daya beli konsumen berpotensi membuat produksinya menurun, sehingga mengurangi pembelian bahan baku olahan nikel dari Indonesia.

"Itu bisa menyebabkan penurunan tajam penerimaan ekspor Indonesia, surplus perdagangan bisa berubah menjadi defisit perdagangan," ujarnya.

Kemudian kondisi akan berlanjut ke arah keuangan RI yakni pelemahan nilai tukar rupiah. Menurut Bhima, secara logis para investor akan menunda dulu realisasi investasinya dan mengalihkan Ke aset yang jauh lebih aman, menyesuaikan situasi di negara asalnya.

Demikian pula dengan impor. Ia mengatakan, terkhususnya pada industri perakitan otomotif, elektronik, serta proyek konstruksi yang banyak menggunakan bahan baku dari negara tirai bambu itu.

"Harga di dalam negeri akan lebih meningkat, sementara dari sisi konsumen tentu belum siap maka yang terjadi adalah penurunan penjualan. Opsi kedua, pelaku usaha masih menahan harga tapi kualitas barangnya akan diturunkan," katanya.

Lanjut ke halaman berikutnya.

Oleh karena itu, kenaikan suku bunga berkemungkinan terjadi kembali. Begitu pula dengan pelemahan nilai tukar rupiah akibat imported inflation atau inflasi yang didorong naiknya biaya impor. Menurut Bhima, RI seolah merasakan gejala resesi ekonomi di negara-negara mitra dagang utama.

"Sudah mulai terasa satu minggu terakhir terjadi fluktuasi nilai tukar Rupiah yang cukup signifikan. kemudian selain itu juga terjadi kenaikan suku bunga yang cukup agresif yang dilakukan oleh bank sentral. Makanya sudah mulai terasa dari inflasi. Data terakhir kan hampir mencapai 6%, merupakan angka tertinggi sejak 2014," katanya.

Pandangan Bhima sedikit berbeda dengan, Pengamat Ekonomi dari CORE Piter Abdullah. Ia berkeyakinan, krisis di China saat ini belum akan berdampak terlalu negatif ke Indonesia.

"Saya berkeyakinan yang disebut krisis di China sekarang ini belum akan berdampak terlalu negatif ke Indonesia. Permintaan barang dari China masih akan tetap besar walaupun tidak tumbuh tinggi," katanya.

Piter menghubungkan keyakinannya ini dengan kondisi ekonomi China. Menurutnya, hingga kini pertumbuhan China masih tetap positif walaupun persentasenya turun dari sebelum-sebelumnya yang mampu menyentuh dua digit.

"Selama ini China mampu tumbuh double digit. Sehingga ketika China tumbuh satu digit atau bahkan tumbuh di bawah 5%, China dianggap krisis. Sementara pertumbuhannya masih positif," jelasnya.

Meski demikian, tidak bisa dipungkiri hubungan dagang dan keuangan RI dengan China sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah harus tetap waspada.


Hide Ads