Perekonomian China tengah berada pinggir jurang krisis. RI sendiri memiliki kedekatan dalam hal hubungan dagang. Lalu jika China krisis apakah akan menjalar ke Indonesia?
China sendiri termasuk ke dalam mitra dagang utama RI. Tercatat dalam data Badan Pusat Statistik per Agustus 2022, nilai impor Indonesia dari China mencapai US$ 6,596 triliun atau setara Rp 100,26 ribu triliun (kurs Rp 15.200). Jumlah ini mencakup hampir 1/3 total nilai impor RI.
Sementara, untuk nilai ekspor RI per bulan yang sama ke China, mencapai US$ 6,398 triliun atau setara Rp 97,25 ribu triliun, yang juga mencapai hampir 1/4 total nilai ekspor RI pada bulan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya itu, dalam catatan detikcom pada April lalu, China menduduki posisi ke-3 untuk nilai investasi asing terbesar, dengan nominal mencapai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 21,28 triliun. Posisinya ini persis di bawah Hong Kong yang berada di urutan ke-2, dan Singapura di posisi ke-1.
Hubungan dagang yang begitu besar itu membuat Indonesia juga rentan terimbas jika China mengalami krisis. Hal itu pun diakui oleh Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS Bhima Yudhistira.
"China memiliki porsi 30% sebagai asal impor dan 20% sebagai tujuan ekspor utama produk-produk dari Indonesia. Kalau China mengalami property bubble, mengalami tekanan pada industri pengolahan, maka permintaan bahan baku dari Indonesia juga akan terganggu," terang Bhima kepada detikcom, Kamis (06/10/2022).
Bhima pun menyoroti pabrik-pabrik mobil listrik yang ada di China. Tekanan daya beli konsumen berpotensi membuat produksinya menurun, sehingga mengurangi pembelian bahan baku olahan nikel dari Indonesia.
"Itu bisa menyebabkan penurunan tajam penerimaan ekspor Indonesia, surplus perdagangan bisa berubah menjadi defisit perdagangan," ujarnya.
Kemudian kondisi akan berlanjut ke arah keuangan RI yakni pelemahan nilai tukar rupiah. Menurut Bhima, secara logis para investor akan menunda dulu realisasi investasinya dan mengalihkan Ke aset yang jauh lebih aman, menyesuaikan situasi di negara asalnya.
Demikian pula dengan impor. Ia mengatakan, terkhususnya pada industri perakitan otomotif, elektronik, serta proyek konstruksi yang banyak menggunakan bahan baku dari negara tirai bambu itu.
"Harga di dalam negeri akan lebih meningkat, sementara dari sisi konsumen tentu belum siap maka yang terjadi adalah penurunan penjualan. Opsi kedua, pelaku usaha masih menahan harga tapi kualitas barangnya akan diturunkan," katanya.