Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung berpendapat dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adanya kartel dilakukan oleh 27 perusahaan produsen minyak goreng sulit dibuktikan. Alasannya, produsen di industri minyak goreng terlalu banyak.
"Sulit terjadi kartel, produsennya terlalu banyak. Dalam hukum ekonomi, kalau pemain atau produsennya terlalu banyak akan sulit terjadi kartel, berbeda jika pemainnya sedikit. Dilarang pun sangat mungkin terjadinya kartel," kata Tungkot dalam keterangan tertulis, Senin (17/10/2022).
Menurut Tungkot, dalam industri minyak goreng di Indonesia pemainnya banyak sekali. Produsen dengan skala besar, sedikitnya terdapat lebih dari 70 perusahaan besar, sementara yang menengah dan kecil lebih banyak lagi. Hampir setiap provinsi di Indonesia ada produsen.
"Bagaimana mungkin terjadi kartel jika industrinya terlalu banyak. Apalagi, jumlah distributor dan sub distributornya banyak sekali, bahkan mencapai ribuan. Belum lagi konsumennya pun banyak," jelas Tungkot.
Konsumen minyak goreng, lanjutnya, sangat besar, mulai dari industri makanan, restoran cepat saji, UMKM, dan rumah tangga. Dari segi kualitas juga banyak sekali ragamnya, mulai minyak goreng premium, kemasan sederhana hingga minyak goreng curah dengan peruntukan yang berbeda-beda.
"Melihat banyaknya pemain, mulai hulu hingga hilir, dapat dipastikan kartel minyak goreng sulit terjadi. Kartel minyak goreng tidak mungkin terjadi, jika melihat produsennya yang begitu banyak, serta jalur distribusi yang melibatkan ribuan distributor dan subdistributor, dan retailer," tegas Tungkot.
PASPI mencatat industri hulu minyak goreng melibatkan lebih dari 3.000 perusahaan produsen CPO yang tersebar di seluruh Indonesia. Produk atau mereknya pun banyak sekali, macam-macam.
Tungkot menjelaskan salah satu indikasi atau cara untuk mengetahui adanya kartel itu, sangat gampang. Yakni, dengan melihat apakah harga minyak goreng itu di atas harga mekanisme pasar atau tidak. Jika harga yang dibayarkan oleh konsumen sama atau lebih rendah dari harga pasar, kartel atau oligopoli tak terjadi.
"Tak perlu terlalu menggunakan banyak teori dengan indeks ini dan itu. Caranya cukup gampang, cek harganya apakah lebih murah atau lebih mahal dari mekanisme pasar. Jika lebih murah, dapat dipastikan tidak terjadi kartel," tegas Tungkot.
Dikatakannya, minyak goreng itu bukan hanya diperdagangkan dalam negeri tetapi juga diperdagangkan di tingkat global dalam bentuk RBDPO (Refined, Bleached and Deodorizing Palm Oil). Hal ini terlihat, ternyata harga dalam negeri dan internasional sangat jauh perbedaannya.
"Sejak dahulu, baik sebelum dan sesudah pandemic Covid-19, harga minyak goreng yang dibayarkan konsumen di dalam negeri lebih murah dibandingkan dengan harga internasional. Ini membuktikan tidak ada kartel," tandasnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya. Langsung klik
(akd/hns)