Celah RI Jadi Ekonomi Terbesar ke -7 Dunia

Kolom

Celah RI Jadi Ekonomi Terbesar ke -7 Dunia

Dato Sri Tahir - detikFinance
Rabu, 14 Des 2022 10:32 WIB
Pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II-2021 diramal tembus 7%. BI menyebut hal ini karena pemulihan di sektor pendukung turut mendorong ekonomi nasional.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Dunia dihadapkan pada perfect storm, yaitu tiga "krisis" simultan: geopolitik, eksistential, dan ekonomi. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dan menghasilkan beberapa megatrend yang perlu kita sikapi.

Megatrend 2.0

Pertama, kita akan masuk masa global makroekonomi baru. Kita terbiasa dengan era global-makro pasca PD II, model dan prediksi ekonomi dibangun berbekal pengamatan dan data tersebut. Tapi, dengan perfect storm, perekonomian dunia akan sulit diprediksi.

Negara-negara terbesar mengalami ketidakpastian. Contoh, AS setelah FFR naik agresif, AS ingin mengerem, tapi data ketenagakerjaan dan perkiraan target inflasi belum akan tercapai. Inggris, tetap terancam debt crisis, banyak hutang dipakai membiayai perusahaan-perusahaan zombie yang membebani perekonomian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

RRT memiliki sistem social capitalism yang berbeda dari negara-negara liberal kapitalis diatas. Kapitalisme terpimpin ini didukung pemerintah serta partai komunis. Walaupun demikian, mulai muncul juga sinyal bahwa berbisnis dan berdagang di RRT tidak mudah, contoh adanya crackdown pada Alibaba, Tencent, Baidu, serta masalah-masalah hutang perusahaan seperti Wanda, Evergrande, dll.

Sisi positifnya, pemerintahnya menunjukkan kemampuan mengambil kebijakan yang tidak populis. Pada krisis keuangan, banyak negara terpaksa membail out institusi penyebab dengan alasan too big too fail. Akan tetapi, krisis di RRT menunjukkan bahwa pemerintahnya mampu tidak tersandra. Jika ada produk keuangan yang di beli masyarakat menjadi busuk, rakyatnya sendiri yang tanggung, pemerintah tidak tersandra untuk bail out.

ADVERTISEMENT

Gabungan triple crisis mendisrupsi supply chain dan menaikkan inflasi. Akar inflasi berbeda dari sebelumnya. Kali ini tidak hanya dikarenakan turunnya supply barang, tapi juga dikalikan dengan naiknya biaya produksi dan transportasi (Cost-pushed inflation). Janet Yellen di CNN mengakui telah underestimate inflasi kali ini.

Kedua, pergeseran valuasi korporasi. Di era internet-digitalisasi, sempat marak "Capitalism without capital." Ini adalah dunia dimana perusahaan memiliki valuasi tinggi tanpa aset fisik. Contoh Airbnb, penyedia penginapan tanpa mempunyai aset penginapan, atau Amazon, penyedia layanan ritel tanpa memiliki toko. Waktu IPO valuasi terbang. Dengan adanya penurunan likuiditas, korporasi minim real capital, Meta/Facebook, Google bisa rontok.

Perusahaan klasik, McDonalds, Coca Cola, dengan aset, kapital-kapabilitas fisik akan stay. Value korporasi akan bergeser kembali pada profitability, investasi perlu prudent. Menjamurnya korporasi "tanpa capital" berdampak pada added value yang semakin kecil. Dua hal masih menjadi kunci, yaitu semiconductor dan teknologi pendukung demokrasi (Contoh: Twitter)

Ketiga, meruncingnya kompetisi teknologi. Dulu negara adu militer, sekarang lomba teknologi. Contoh, RRT menerapkan kebijakan transfer teknologi. Lalu, AS memblokir akses Huawei pada semikonduktor untuk melumpuhkan 5G-nya. Sedangkan TSMC berinvestasi pabrik tercanggihnya di Arizona untuk Apple. Belum lagi kompetisi supremasi kecerdasan buatan. Kontrol atas produksi chip menjadi kunci, AS akan berusaha mempertahankan kedaulatan dan supremasi teknologinya.

Keempat, pergeseran sosial-kultural. AS, sedang menghadapi polarisasi politik domestik. Disisi lain, sanksi AS pada RRT menaikkan nasionalisme RRT. Jika RRT berhasil menjadi negara terkaya, dunia akan multipolar. Strategic alignment major power akan sulit. Dunia yang dulunya dicirikan dengan globalisasi, akan bergeser dengan ciri deglobalisasi, disertai dengan naiknya populisme, ultranasionalisme, dan proteksionisme.

Kelima, transformasi politik luar negeri. Dengan Donald Trump, hubungan AS dengan dunia sempat renggang. Tapi adanya perang Russia- Ukraina, banyak negara maju, mendekatkan diri pada AS. RRT mempunyai aset kestabilan internal melalui solidifikasi kekuatan Xi Jinping. Kekuatan ekonominya naik, tercermin dari tingginya devisa RRT yang mencapai level tertinggi sembilan tahun terakhir, serta Belt & Road Initiativenya. Ini terjadi dikala Jepang dan Korea mengalami berbagai tantangan. Sehingga, RRT akan makin berpengaruh di Asia dan di negara-negara berkembang.

Keenam, militer yang tidak hanya invasive, tapi menghancurkan. Pada peperangan sebelumnya, pendekatannya konvensional. Saat ini pendekatannya modern jarak jauh, dengan drone dan misil. Juga akan berkembang tataran peperangan angkasa (Space war) dengan konsekuensi yang critical pada kehidupan. Pendekatan ini lebih meluluhlantakkan. Contoh, Ukraina, bangunan dan infrastruktur habis.

Zelensky mungkin adalah media darling yang menarik simpati sebagai "korban". Akan tetapi, pemimpin seharusnya berpikir lebih panjang, bukan hanya menaikkan popularitas media sosial. Dengan tingkat kehancuran akibat perang, bagaimana masa depan negaranya?

Banyak yang ingin membantu Ukraina. Tetapi secara feasibility, apakah ada kemampuan untuk rekonstruksi? AS, hutang pemerintah sudah pada tingkat 123% dari PDB-nya dan ketimpangan sedang tinggi. Uni Eropa sedang disibukkan dengan harga pangan-energi dan juga ancaman krisis utang. Institusi multilateral seperti World Bank dan IMF juga disibukkan menangani krisis akibat pandemi.

Ketujuh, dulu kita mengenal negara adidaya, kedepan dunia mungkin akan melihat individu adidaya. Contoh, Elon Musk, kritik konvensional melihat dia menghancurkan valuasi Twitter. Tapi control Twitter, dia memiliki kekuatan menentukan benar dan salah. CEO dan CFO Twitter diberhentikan, tapi dewan auditnya tetap. Governance berdemokrasi di dunia digital tidak hanya diatur negara, tapi bisa diatur individu adidaya. Belum lagi kemampuan Tesla di bidang robotics dan perekonomian luar angkasa (Space economy). Perusahaan-perusahaan kembali beriklan di Twitter. Bisa jadi Elon Musk ingin menjadi adidaya. Individu-individu adidaya bisa banyak bermunculan dan menggeser fungsi negara.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Bekal Pertumbuhan Indonesia

Pertama, selama 7 tahun terakhir, dibawah kepresidenan Jokowi, Indonesia mengalami banyak perubahan. Pada awal periode satu, subsidi BBM "menyandra" pembangunan. Sehingga tahun 2015, presiden mengambil langkah berani mencabut subsidi BBM dan mengalihkan dananya untuk investasi pembangunan, seperti infrastruktur, logistik, pertanian, perumahan rakyat, dan pekerjaan umum. Hasilnya kita sudah menikmati. Strategi penguatan investasi untuk pembangunan masa depan ini harus diperkuat dan diteruskan.

Kedua, Indonesia sedang menikmati tingkat reputasi internasional tertinggi. Tidak hanya telah membawa misi perdamaian, dengan berkunjung ke Ukraina dan Russia. Kita telah berhasil dengan baik menjadi presiden dan tuan rumah G-20, dan akan menjadi presiden ASEAN. Indonesia bukan lagi "Invisible giant," tetapi kita negara besar beraset reputasi internasional.

Ketiga, Presiden Jokowi juga adalah presiden pertama yang memulai mengeksekusi pemindahan ibu kota untuk menggeser pembangunan yang sebelumnya Java-centric, menjadi Indonesia-centric. Presiden juga 15 kali ke Papua, dan melakukan pembangunan infrastruktur nasional. Ini mencerminkan visi pembangunan Indonesia yang berkualitas dalam kerangka NKRI.

Keempat, reputasi baik Indonesia juga sudah mulai direspon dunia. November lalu, sebagai wujud persahabatan, Uni Emirat Arab menghadiahi Masjid Raya Sheikh Zayed Solo, dan juga diberitakan akan membangun Masjid Presiden Joko Widodo di Abu Dhabi.

Kelima, dikala banyak negara terancam krisis utang, Indonesia berhasil mendeliver stability. Sekitar 15-20 negara "Masuk ICU" IMF untuk bernafas bayar hutang. Indonesia dipercaya institusi-institusi global, kemampuan mengelola fiskal yang prudent, dan juga kemampuan kementerian keuangan berkoordinasi dengan otoritas moneter menjaga stabilitas dan pertumbuhan patut diacungi jempol. Dikala banyak negara krisis, RI tetap bisa stabil dan tumbuh adalah hasil kerja keras pemerintah.

What's Next

Pertama, dengan deglobalisasi dan krisis pangan-energi, pemerintah perlu meningkatkan ketahanan pangan di RI. Bahkan perlu fokus swasembada pangan dan proses yang menyokongnya, tidak hanya pada bahan pokok seperti beras, tapi juga bahan lain dan industri-industri pendukung pangan.

Kedua, RI sudah semakin memiliki tata kelola dan kelembagaan yang bagus. Sehingga pemerintah bisa optimal dalam mengalokasikan resources yang terbatas untuk optimalisasi dan mengejar pertumbuhan berkualitas.

Ketiga, adanya strategi membangun industri baterai terintegrasi. Cadangan nikel RI terbesar di dunia. Selain itu, RI labor-surplus. Industri baterai nikel bisa menyerap banyak tenaga kerja. Pengembangan industri baterai ini memanfaatkan dua competitive advantage RI, dan perlu dibangun di daerah-daerah ekonomi khusus luar Jawa. Dengan demikian RI mempunyai pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkualitas.

Di saat negara lain "gonjang-ganjing", mulai dari negara yang gonta-ganti pemimpin, sampai negara yang jadi luluhlantak karena ambisi popularitas pemimpinnya, kepemimpinan Presiden Jokowi mendeliver stabilitas dan pertumbuhan. Sehingga, banyak orang beraspirasi kepresidenan Jokowi diberi kesempatan mengantarkan Indonesia untuk bisa lebih lagi-bahkan menjadi top 7 kekuatan ekonomi terbesar dunia dalam 10 tahun.

Fight menjadi top 7 tidak mudah. Untuk mencapai, perlu New Economic Grand Scenario, dan kepemimpinan yang terbukti mampu. Brazil pernah menempuhnya di tahun 2000-an, ekonominya pernah ranking 8 dunia.

Contoh lain, Kamboja yang menempuh dan mengawal deregulasi-liberalisasi strategis. Kamboja berani memberikan hak milik tanah pada investor asing dan saya berbicara sendiri dengan perdana menterinya, program ini berhasil membuat perekoniannya tumbuh 7% terus.

RI juga sudah mempunyai UU Cipta Kerja yang bisa menjadi bekal pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Dunia lagi dilanda krisis. Akan tetapi, seusai PDII, Winston Churchill berpidato, "Jangan menyia-nyiakan krisis." Kita harus jeli, inilah saatnya Indonesia berstrategi fight menjadi ekonomi terbesar ke-7 dunia dalam waktu 10 tahun.

(dna/dna)

Hide Ads