"Kalau tidak, ini juga akan menimbulkan persoalan baru yang akan memaksa pemerintah untuk memperlebar jalan dengan konstruksi yang sesuai dengan spesifikasi angkutan barang. Itu kan biayanya tidak murah untuk menambah lebar jalan. Ini memaksa untuk menambah pengeluaran APBN kita, sementara pos APBN kita tidak begitu bagus saat ini," cetusnya.
Hal lainnya yang perlu dihitung adalah ongkos transportasi distribusi barang itu menjadi berapa jika Zero ODOL ini diterapkan. Dia mencontohkan misalnya ongkos dari Jakarta ke Semarang dengan angkutan yang sekarang ini senilai Rp 10 juta, dan saat Zero ODOL pasti akan ada kenaikan senilai Rp 3 juta.
"Pemerintah sudah melihat hal semacam itu belum? Dan apakah juga sudah dilihat dengan adanya kenaikan tarif itu, daya beli masyarakat akan seperti apa. Apalagi Kementerian Perindustrian sudah mengatakan ini akan berkontribusi terhadap inflasi sebesar 1,2-1,5%," ungkapnya.
Karenanya, dia berharap sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL, Kementerian Perhubungan melakukan survei secara detail. "Jangan sampai terjadi justru kenaikan harga barang komoditi dan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, di situ lah terjadi inflasi. Jika itu terjadi, malah akan menjadi PR (pekerjaan rumah) berat lagi yang dirasakan masyarakat," imbuhnya.
"Maka saya meminta kepada pemerintah agar penerapan Zero ODOL di awal tahun 2023 ini layak untuk dipertimbangkan kembali atau kalau bisa ditunda hingga pemerintah sudah benar-benar siap untuk mengantisipasi terjadinya resiko dampak dari Zero ODOL itu," tambahnya.
(aid/dna)