Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto dicecar oleh Komisi XI DPR RI terkait kondisi utang pemerintah. Diketahui posisi utang pemerintah per Desember 2022 sebesar Rp 7.733,99 triliun.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati mengingatkan bahwa utang yang terus membengkak akan membebani generasi mendatang.
"Ini secara kasat mata sudah menyajikan sedemikian rupa untuk meyakinkan kita semua bahwa ini baik-baik saja, tapi saya melihat dari sisi makronya. Bagaimana pun utang yang dalam tenor panjang dalam 20-50 tahun itu kalau kata orang Jawa sing bayar sopo?" kata Anis dalam rapat dengar pendapat dengan anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (7/2/2023).
Utang pemerintah berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) yakni 88,53% atau sebanyak Rp 6.846,89 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 5.452,36 triliun dan valuta asing Rp 1.394,53 triliun. Sisanya dari pinjaman 11,47% atau senilai Rp 887,10 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 19,67 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 867,43 triliun.
Anis mengaku sangat prihatin dengan utang pemerintah yang dianggap terus meningkat. Jika utang terus bertambah, maka APBN yang seharusnya bisa mengangkat kehidupan masyarakat jadi terbebani dengan pembiayaan utang yang semakin besar.
"Selalu yang dibilang ini masih aman karena UU-nya 60% dari PDB. Selalu itu yang digaungkan pemerintah. Saya melihat bahwa jangan hanya itu yang jadi indikator, tapi bagaimana kemampuan negara membayar utangnya. Kalau utang tambah terus, otomatis pembiayaan utang kan bertambah setiap tahun, cicilannya bertambah, yang harus dibayar setiap tahun, kan jadi beban APBN tersendiri," ujarnya.
Pemerintah Bantah Hobi Utang
Suminto menyatakan instrumen utang diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Dia pun membantah anggapan jika pemerintah suka berutang.
"Ketika pemerintah berutang, bukan karena pemerintah suka atau demen berutang," kata Suminto.
Suminto menjelaskan bahwa utang pemerintah diambil untuk menutupi defisit APBN yang sudah ditetapkan pemerintah bersama DPR RI. Defisit ini berarti pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan pemerintah.
"DPR dan pemerintah menyusun APBN, di situ ada defisit APBN dan atas defisit ini perlu dicarikan pembiayaannya. Sehingga dalam konteks ini sebenarnya pemerintah lebih dalam memenuhi kebutuhan pembiayaannya baik melalui SBN maupun pinjaman," ucapnya.
Suminto menyebut rasio utang pemerintah sampai akhir Desember 2022 hanya 39,57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dia pun membandingkan dengan negara-negara lainnya yang masih jauh di atas itu.
"Dengan kinerja APBN yang tergolong cukup baik, kita lihat rasio utang ke PDB masih cukup baik dibanding banyak negara lain," ucap Suminto.
China misalnya, rasio utangnya terhadap PDB masih bertengger di level 76,89% hingga akhir 2022. Kemudian India 83,40%, Malaysia 69,56%, Thailand 61,45%, Filipina 59,27%, Brazil 88,19%, Afrika Selatan 67,98%, Amerika Serikat 122,20%, Jerman 71,11%, Prancis 111,83%, Inggris 86,99%, Jepang 263,92%, dan Korea Selatan 54,08%.
"Rasio utang terhadap PDB ini tentu untuk membandingkan antara kewajiban dengan kapasitas yang dimiliki satu perekonomian. Tentu dengan melihat indikator-indikator yang biasa digunakan secara global saat ini, utang kita dalam level cukup moderat dan aman," ujar Suminto.
Lihat Video: Utang yang Capai Rp 7.773 T, Sri Mulyani Pede RI Mampu Bayar