Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani membeberkan asal-usul munculnya transaksi Rp 189 triliun yang disebut mencurigakan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Nilai itu merupakan bagian dari Rp 349 triliun yang sedang heboh.
Askolani menceritakan pada 2016 petugas Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai di Soekarno Hatta melakukan penindakan terhadap 1 perusahaan yang melakukan eksportasi emas. Kegiatan itu berhasil dicegah karena katanya berbentuk perhiasan, padahal isinya emas batangan (ingot).
"Tindakan ini kemudian dibawa ke pengadilan. Temuannya adalah 218 kilogram emas yang nilainya mencapai US$ 6,8 juta," kata Askolani dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).
Setelah berkas perkara lengkap (P21), didakwa satu tersangka perorangan. Kemudian pada 2017 Bea Cukai kalah dalam sidang dan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak terbukti melakukan tindak pidana.
"Keputusan pengadilan adalah tidak terbukti melakukan perbuatan didakwakan, jadi dinilai bukan merupakan tindak pidana, itu putusan 2017," ujar Askolani.
Selang beberapa bulan, pihak Bea Cukai kembali melakukan kasasi. Kali ini pihaknya menang dan tersangka mendapatkan sanksi pidana 6 bulan serta denda Rp 2,3 miliar, ada juga perusahaan dikenakan denda Rp 500 juta.
Merasa tidak terima dengan keputusan tersebut, tersangka melakukan peninjauan kembali (PK) pada 2019. Hasilnya, Bea Cukai kembali kalah sehingga terlapor dinyatakan tidak melakukan tindak pidana.
"Sehingga dari keputusan itu kita tidak bisa bawa ke TPPU seperti yang dimintakan oleh PPATK," bebernya.
Pada 2020, Bea Cukai kembali melakukan asesmen terhadap 9 entitas wajib pajak badan yang melakukan eksportasi emas senilai total Rp 189 triliun. Belajar dari hasil PK kasus 2016, diputuskan bahwa tidak ada pelanggaran kepabeanan.
"Dari review bersama, belajar dari keputusan bersama PK di 2017, kita dengan PPATK menyatakan bahwa ini tidak ada tindak pidana kepabeanan. 2020 ini nilainya Rp 189 triliun yang masuk ke definisi perusahaan, jadi tidak ada yang menyangkut sama sekali pegawai di Kemenkeu," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan TPPU selalu berkaitan dengan tindak pidana asal (TPA). Ketika TPA tidak terbukti oleh pengadilan, maka TPPU tidak maju.
"Laporan PPATK dengan nilai total keluar masuk Rp 189 triliun diterima DJBC dan ditindaklanjuti dengan hasil tidak ditemukan indikasi pelanggaran di bidang kepabeanan. Indikasi itu dinyatakan dalam satu rapat dengan PPATK pada Agustus 2020," ujar Suahasil.
Sebelumnya Menkopolhukam Mahfud MD menuding ada dugaan pencucian uang sebesar Rp 189 triliun yang ditutupi anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait dugaan penjualan emas batangan.
Hal itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI terkait transaksi janggal Rp 349 triliun di Kemenkeu yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (29/3).
Mahfud menjelaskan temuan Rp 189 triliun itu merupakan dugaan pencucian uang di lingkungan bea cukai dengan 15 entitas terkait impor emas batangan. Surat cukai itu diduga dimanipulasi dengan keterangan 'emas mentah', padahal sudah berbentuk emas batangan.
"Impor emas batangan yang mahal itu tapi di surat cukainya itu emas mentah. Diperiksa PPATK, diselidiki 'bagaimana kamu kan emasnya udah jadi, kok bilang emas mentah?' 'Enggak, ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya', di cari ke Surabaya nggak ada pabriknya. Itu menyangkut uang miliaran tapi nggak diperiksa," kata Mahfud.
Simak Video 'Kala Mahfud Ungkap Penyelundupan Emas Rp 189 T Dugaan TPPU Bea Cukai':
(aid/eds)