Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya menyelesaikan Omnibus Law BUMN. Sebanyak 45 peraturan baik Peraturan Menteri (Permen) maupun Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN, diringkas menjadi tiga Peraturan Menteri BUMN (Permen BUMN) saja.
Komisaris PT PLN Batam sekaligus Tenaga Ahli Menteri Investasi, Rizal Calvary Marimbo, menyampaikan bahwa langkah penyederhanaan regulasi atau peraturan di BUMN sudah tepat dilakukan. Bahkan menurutnya aturan ini jangan berhenti di regulasi setingkat Menteri saja, namun sampai ke Peraturan Perundang-Undangan.
Ia mengungkapkan ada beberapa alasan kenapa hal ini menjadi penting, mulai dari UU di sekitar BUMN sudah sangat banyak, ada UU yang sudah tidak relevan lagi, hingga banyaknya aturan yang membuat bos-bos BUMN jadi kesulitan dalam membuat keputusan.
"Pertama, Per-UU-an disekitar BUMN sudah sangat gemuk. Sebagai contoh, BUMN di Bidang Pangan, Infrastruktur dan Perumahan. Undang-Undang yang berada disekitar BUMN ini sekitar 10 Undang-Undang," kata Rizal, ditulis detikcom Kamis (6/4/2023).
"Kedua, di dalam sepuluh (10) Undang-Undang di atas, ada fakta-fakta menarik. Ditemukan sekitar 12 pasal yang berpotensi tidak sesuai dengan norma, prinsip, indikator di atasnya. Dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945," lanjut Rizal.
Untuk poin kedua, Rizal memberi contoh Undang-Undang BUMN (Pasal 78) terkait privatisasi yang menurutnya saat ini sudah kurang relevan karena norma yang diatur tidak jelas.
"Perlu norma yang lebih jelas terkait dengan privatisasi, bahwa privatisasi diperbolehkan dengan menjual saham langsung kepada investor. Namun, investor, disini tidak dijelaskan apakah dalam negeri atau luar negeri. Serta pembatasan keikutsertaan asing dalam pengelolaannya," ungkap Rizal.
Lalu menurutnya, saat ini terdapat sebanyak 25 pasal berpotensi tumpang tindih/disharmonisasi satu dengan yang lain antar pasal dalam Undang-Undang atau antar pasal antar Undang-Undang. Hal ini membuat kurangnya kepastian hukum bagi pengelola BUMN dalam menjalankan Perseroan
"Ketiga, tumpang tindih dan gendutnya Per-UU-an di BUMN ini membuat kurangnya kepastian hukum bagi pengelola BUMN. Contoh, BUMN Infrastruktur dan energi kerap mendapat penugasan pemerintah untuk membangun infrastruktur dan energi, yang tidak feasible secara bisnis, tuturnya.
"Maka Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 (ius constitutum), dimana "mengejar keuntungan" menjadi ukuran kinerja perusahaan, dengan sendirinya tidak implementatif (ius operandum). Semestinya ukuran yang dikenakan untuk BUMN-BUMN yang banyak mendapat tugas pemerintah ini adalah pada level of service (ius constituendum)," sambung Rizal.
(fdl/fdl)