Dalam proses reklamasi alami pun, lanjutnya, tekstur sedimentasi yang lebih halus bisa meningkatkan kepadatan dan penambahan sedimentasi mencapai 10 cm per tahun seperti yang terjadi di muara Sungai Porong, Sidoarjo. Pembuktian ini menjawab anggapan sejumlah pihak yang menyebut hasil sedimentasi tidak bisa digunakan sebagai material reklamasi.
Hendra menilai PP 26 Tahun 2023 dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menjadi kombinasi apik dalam memastikan upaya pemanfaatan hasil sedimentasi laut berpadu dengan rencana reklamasi yang legal.
Menurutnya, penggunaan hasil sedimentasi laut untuk memenuhi kebutuhan reklamasi justru dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan lingkungan di darat yang dapat memicu terjadinya bencana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hitungan sederhana untuk luasan rencana 7.000 hektare yang sudah tercantum dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ketinggian sampai 10 meter misalnya membutuhkan material sekitar 700 juta meter kubik, dan belum lagi material lain serta potensi reklamasi lain," terang Hendra.
Ia menyebut jika jumlah material yang dibutuhkan tersebut diambil dari darat, sepertiga dari luas Taman Nasional Gede Pangrango (luas hampir lebih 24.000 hektar) perlu diratakan dan dialihkan ke lokasi reklamasi atau 8 kali luas total daratan kepulauan seribu (luas daratan kepulauan seribu 890 hektare).
"Pengambilan material dari darat dengan asumsi itu dengan mudah akan menimbulkan bencana seperti banjir, tanah longsor, hilangnya sumber mata air, dan hilangnya lahan pertanian. Dalam pelaksanaannya pun akan mengganggu aktivitas warga karena transportasi pengangkatan material. Polusi debu dan rusaknya jalan sebagai jalur logistik pangan masyarakat ikut menjadi korban," jelasnya.
Menurutnya, pilihan terbaik adalah mengambil material yang secara proses alami selalu ada, yaitu sedimentasi dari laut. Sedimentasi ini dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti di muara sungai, maupun pada perairan laut.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan sedimentasi dapat membentuk gosong yang justru bisa mengganggu alur nelayan dan tempat pemijahan. Jika tidak dikelola dengan baik, sedimentasi juga akan berdampak pada kelestarian ekosistem dan produktivitas masyarakat baik masyarakat pesisir maupun masyarakat umum.
Namun ia mengakui perlunya kajian komprehensif dan pengawasan saat pelaksanaan pembersihan sedimen untuk memanfaatkannya. Untuk itu, keberadaan PP 26/2023 bertujuan meningkatkan daya dukung dan daya tampung serta kesehatan laut dapat dicapai.
Hendra menegaskan pihaknya akan memastikan pelaksanaan PP 26/2023 dilaksanakan dengan tahapan perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan yang sangat ketat. KKP juga dipastikan mendukung transparansi untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut, serta mengutamakan kesehatan laut.
Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Trenggono menyatakan pemanfaatan hasil sedimentasi, khususnya pasir laut, diutamakan untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Bukannya mendukung komoditas ekspor.
Menurut Trenggono, penggunaan pasir laut untuk reklamasi menjadi lebih terukur karena harus berasal dari hasil sedimentasi, bukan yang dikeruk di sembarang lokasi. PP 26/2023 juga mengedepankan keterbukaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Hal itu ditujukan dengan pembentukan Tim Kajian yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, hingga aktivis lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Bab Perencanaan.
Simak Video "Video: Tak Berizin, Pertambangan Pasir di Pulau Citlim Riau Dihentikan KKP"
[Gambas:Video 20detik]
(prf/ega)