Sri Mulyani-Bos BI Waspadai Pelemahan Ekonomi China dan Dampaknya ke RI

Sri Mulyani-Bos BI Waspadai Pelemahan Ekonomi China dan Dampaknya ke RI

Anisa Indraini - detikFinance
Kamis, 21 Sep 2023 19:00 WIB
Sri Mulyani Paparkan Dinamika Ekonomi RI di Rapat Paripurna DPR
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati - Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) mewaspadai pelemahan ekonomi China. Pasalnya Negeri Tirai Bambu itu merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

Sri Mulyani mengatakan pelemahan ekonomi China akan mempengaruhi prospek ekonomi global yang secara tidak langsung akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

"Risiko lain yang harus kita waspadai adalah tren pelemahan perekonomian di RRT yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia," kata Sri Mulyani dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Kamis (21/9/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sri Mulyani menyebut sejauh ini perekonomian domestik masih menunjukkan konsistensi pemulihan yang solid. Hanya saja pihaknya tetap waspada terhadap gejolak perekonomian global khususnya kondisi yang sedang terjadi di China.

"Kami menyampaikan gambaran gejolak ekonomi global saat ini tidak untuk membuat kita khawatir atau pesimis, namun untuk memberikan pemahaman serta optimisme bahwa APBN 2024 harus dan akan selalu siap meredam berbagai ketidakpastian," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Secara terpisah, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan pelemahan ekonomi China disebabkan oleh melemahnya permintaan domestik, utang rumah tangga, dan permasalahan sektor properti di tengah penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi global. Akibatnya, sejumlah negara akan kecipratan dampaknya termasuk Indonesia.

"Ekonomi China yang melambat bisa merembet ke negara lain. Misalnya ekspor kita yang masih meningkat tapi tidak sekuat sebelumnya," kata Perry dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur di kantornya.

Di sisi lain, Perry mengungkapkan ekonomi AS mulai pulih. Kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings).

Perry memproyeksi inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak. Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

"Akibatnya, tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia," tutur Perry.

(kil/kil)

Hide Ads