Demikian kata Ketua Dewan Audit Merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Sophia Wattimena. Ia mengutip laporan dari The Institute of Internal Auditors (IIA).
"IIA menyampaikan kerugian akibat kejahatan cyber di seluruh dunia pada tahun 2023 mencapai angka yang cukup signifikan yakni sekitar US$ 8 triliun dan diperkirakan kerugian akibat ransomware dapat mencapai sekitar US$ 265 miliar pada 2031, proyeksinya sebesar itu," kata Sophia dalam acara Risk & Governance Summit 2023 di Shangri-La Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Khusus di Indonesia saja, berkaca dari data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sejak Januari-Oktober 2023 sudah terdapat 361 juta serangan cyber. Banyaknya kasus serangan cyber tidak diimbangi dengan kesiapan organisasi dalam menanganinya.
"Di sisi lain rata-rata waktu yang diperlukan untuk organisasi menyelesaikan kejahatan cyber ini masih mencapai angka 277 hari. Jadi cukup lama, tidak tiba-tiba dan kesenjangan tenaga kerja dalam industri cyber security sebanyak 3,4 juta orang," beber Sophia.
IIA telah merilis Asia Pacific Risk in Focus 2024 di mana risiko yang paling mendominasi di area Asia Pasifik adalah cyber security, diikuti risiko keberlangsungan bisnis (business continuity), human capital, market changes, regulatory change dan gangguan digital (digital disruption).
Menurut Sophia, keberadaan risiko tersebut tidak dapat dihindari mengingat perkembangan era teknologi begitu cepat. Yang bisa dilakukan adalah melakukan mitigasi seperti menerapkan standar proses bisnis sesuai best practice terkini, serta berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
"Perlu kita pahami bahwa inovasi ini bisa hand in hand dengan governancy. Jadi kalau kita berkaca pada sebelumnya, governance-nya itu belakangan telat mengikutinya. Nah diharapkan ke depannya kita bisa mengantisipasi sehingga setiap inovasi itu sudah memperhitungkan porsi governance atau tata kelolanya," imbuhnya. (aid/das)