Sebagai desa yang disiapkan untuk menghasilkan devisa ke negara, Ahmad bercerita olahan produk kakao Gunung Kidul ini juga sudah terbang ke luar negeri melalui pihak ketiga.
Jadi, ada salah satu pengusaha cokelat dari Swiss tertarik dengan fermentasi kakao dari Nglanggeran, Gunung Kidul. Fermentasi kakao itu dibeli kemudian diproduksi menjadi cokelat dan dikirim ke Swiss produk tersebut.
"Kalau untuk ekspor kita sekarang belum bisa karena produksi hanya maksimal 1,5 kuintal, jadi untuk kebutuhan se-Jogja aja kurang, apa lagi ekspor. Tetapi prinsipnya fermentasi kakao kita sudah bisa ekspor dan aman, ini terbukti dengan kita punya buyer atau rekanan ya (dari Swiss) yang memproduksi cokelat Monnier. Mereka itu kita punya 1 kg fermentasi aja dia ambil, karena apa? Dia bilng sudah cocok dengan fermentasi di sini," jelas Ahmad.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahmad berharap, ke depan pertanian kakao di Gunung Kidul semakin luar agar produksinya juga meningkat. Dengan demikian, produk turunan kakaonya juga lebih banyak agar bisa memenuhi untuk ekspor.
"Kita sebetulnya maunya banyak dan bisa ekspor, tetapi belum mencukupi. Orang asing itu bilang ya nggak apa apa nggak banyak, asal kita butuh ada. Jadi kita jatah per minggu itu 10 kilogram. Jadi dia punya usaha cokelat kemudian cokelatnya dijual ke negaranya di Swiss," tambah dia.
Peran LPEI Siapkan Desa Kakao untuk Ekspor
Kepala Departemen Pengembangan Komoditas & Industri LPEI, Nilla Meiditha mengatakan pendampingan yang dilakukan LPEI memang untuk menyiapkan desa kakao Gunung Kidul tersebut agar bisa melakukan ekspor. Pendampingan itu di antaranya diberikan pengetahuan mengenai ekspor dan didatangkan ahli dari desa devisa yang sudah bisa ekspor agar produksi kakao di Gunung Kidul nilai tambahnya meningkat.
"Kami melakukan pengenalan prosedur ekspor, pelatihan dan pendampingan itu melibatkan Kemenkeu I dan mengundang pakar ekspor yakni Ditjen Bea dan Cukai. Kemudian kami juga mendatangkan ahli untuk kakao dari desa devisa yang dibina LPEI di Jembrana, Bali. Jadi metode pendampingan ini kita gunakan desa devisa yang berhasil melakukan ekspor dan dijadikan narasumber," jelasnya.
Petani dan UMKM kakao Gunung Kidul diberikan ilmu untuk melakukan fermentasi kakao yang baik agar mendapatkan kualitas yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan hasil fermentasi kakao Gunung Kidul yang memiliki rasa yang berbeda, sehingga harganya telah meningkat 2 kali lipat.
Nilla mengatakan, masih ada beberapa pendampingan yang akan dilakukan 2024. Harapannya, setelah pendampingan itu, desa kakao di Gunung Kidul langsung bisa melakukan ekspor.
"Kakao di Nglanggeran sudah memiliki brand sendiri yaitu Kakao Gunung Kidul. Pendampingan masih 2 kali lagi di 2024. Jadi harapannya semakin memperkenalkan cokelat Nglanggeran dari lokal kemudian menjadi mendunia," tutupnya.
(ada/ara)