Sementara itu, RPP ini juga akan melarang penjualan rokok secara eceran. Hal tersebut mengundang reaksi keras dari pedagang. Menurut Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Reynaldi Sarijowan, larangan ini akan menekan pendapatan pedagang warung atau kios kaki lima.
"Rokok eceran itu dijual oleh anggota kita pedagang kaki lima di sekitar pasar atau pun di wilayah lain. Jika rokok eceran dibatasi, maka membatasi pula ruang jualan bagi pedagang anggota kami. Rokok eceran masih jadi sumber pendapatan bagi pedagang kaki lima atau toko kelontong. Kalau dibatasi, berarti pendapatannya berkurang," terangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping itu, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto menyebutkan pengetatan jam tayang iklan rokok, larangan iklan rokok di media luar ruang atau billboard, larangan di media sosial, hingga larangan sponsorship akan mempersulit perusahaan jasa periklanan.
"Ini akan jadi tantangan. Dari segi media digital, iklan di media digital justru lebih memiliki kemampuan mengatur target jangkauannya. Lalu iklan hanya boleh di jam-jam yang kita sebut jam hantu, nggak ada lagi yang lihat. Ini yang berat," jelasnya.
"Lalu larangan iklan billboard, bisa dibayangkan efeknya akan berdampak ke ribuan orang. Begitu juga dengan iklan langsung di event-event. Multiplier effects-nya banyak. Ini concern yang kita coba sampaikan ke pemerintah. Apalagi kita tak pernah dilibatkan langsung dalam penyusunan draf ini," tuturnya.
Dari perwakilan industri, Ketua Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menambahkan RPP Kesehatan menciptakan kondisi tak nyaman. Sebab, satu aturan mengatur soal kesehatan, obat, dokter, juga rokok sampai cukai.
"Kami harap kluster zat adiktif terpisah dari RPP keseluruhan seperti 109/2012 tersendiri. Itu rasanya paling tepat karena ada petani, buruh di situ. Jadi treatment beda," harapnya.
Lihat juga Video 'Sederet Kasus Terheboh di Dunia Kesehatan Sepanjang 2023':
(akd/ega)