Industri sawit Indonesia merupakan salah satu sektor yang sangat besar. Bahkan Indonesia menjadi penghasil sawit terbesar di dunia.
Namun, ada berbagai tantangan yang dihadapi industri sawit Indonesia, di antaranya ketidakpastian global, geopolitik, pandemi COVID-19 hingga biaya produksi yang semakin meningkat.
Direktur Palmoil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyampaikan, ke depan sejumlah tantangan itu juga masih dirasakan. Apa lagi ada sejumlah tantangan tambahan, salah satunya kebijakan EU Deforestasi.
"Perekonomian dunia tidak baik-baik saja, pertumbuhan industri sawit masa akan data tidak bisa terlalu optimis karena memang kecenderunganya menurun. Geopolitik ada di dua lokasi Ukraina, dan Rusia, dan (tantangan) middle east ini masih akan membawa ancaman karena 30% kontainer banyak melalui laut merah, kalau ini terganggu dampaknya luar biasa, kemudian EU deforestasi," ujar dia dalam acara Rumh Sawit Indonesia (RSI), Rabu (10/4/2024).
Meski demikian, Tungkot mengatakan sepanjang 2023, industri sawit masih menunjukkan kekuatannya untuk bertahan di tengah banyaknya tantangan global. Ia mencatat industri sawit telah menyumbang cukup besar bagi devisa negara.
"Tahun 2023, kita perkirakan devisa ekspor sawit Indonesia menghasilkan US$ 31 miliar, dari penghematan devisa sebesar itu ada US$ 10,5 miliar. Artinya tahun lalu, industri sawit menyumbang kepada perekonomian Indonesia sekitar US$ 41 sampai 42 miliar. Memang lebih rendah dari tahun lalu," ungkap dia.
"Ternyata industri sawit masih menunjukkan ketahanannya, bahkan masih bisa bertumbuh meskipun tidak terlalu besar, baik itu produksi maupun konsumsi. Begitu besar risiko pada 2023, tetapi masih bisa survive bertumbuh di tengah ancaman resesi ekonomi dunia," tambahnya.
Sementara, Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia, Kacuk Sumarto mengungkap saat ini tantangan yang dihadapi industri sawit adalah biaya produksi yang semakin meningkat. Biaya produksi yang semakin mahal di antaranya pupuk dan upah pekerja.
"Upah pada waktu itu (2010) itu di Sumatera Utara masih Rp 1,3 juta, sekarang sudah hampir Rp 4,5 juta. Pupuk waktu itu Rp 2.700, tahun lalu, bahkan Rp 8.500, Rp 9.000 sampai Rp 11.000. Padahal harga jual Rp 8.500 sampai Rp 11.000 per kg," ujar dia.
Sumato mengatakan, jika hal itu terus terjadi dia khawatir pendapatan akan sama dengan biaya produksi.
"Ini jika tidak ada perubahan dan terobosan dalam waktu dekat maka pendapatan sama dengan biaya," pungkasnya.
Simak juga Video 'Luhut Minta BPKP Audit Perusahaan Sawit: Jangan Mau Diatur-atur!':
(ada/das)