Dikutip dari CNBC, Kamis (21/02/2024), mata uang Nigeria, Naira, mengalami penurunan sebesar 70% sejak Mei 2023 saat Presiden Tinubu menjabat. Nilai tukar yang rendah ini menyebabkan inflasi di Nigeria yang kini mendekati angka 30%.
"Nilai tukar yang melemah memicu peningkatan inflasi, yang akan memperburuk tekanan harga di Nigeria," ucap Pieter Scribante, seorang ekonom senior di Oxford Economics.
Nigeria merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Afrika dan memiliki populasi lebih dari 210 jiwa. Namun, negara ini sangat bergantung pada kegiatan impor untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya.
Inflasi di Nigeria mencapai 29,9%, nilai ini tertinggi sejak 1966. Tingginya inflasi ini dikarenakan lonjakan harga bahan pangan sebesar 35,4%. Hal ini tentu memicu kemarahan warga negara yang kemudian melayangkan protesnya pada pekan lalu.
Selain itu, anjloknya nilai mata uang juga telah menambah kesan negatif pemerintah yang sebelumnya menghapuskan subsidi gas sehingga mengakibatkan harga gas naik tiga kali lipat.
Selain permasalahan inflasi dan penurunan nilai mata uang yang tajam, Nigeria juga perlu menghadapi hutang negara yang besar, tingginya pengangguran, kurangnya listrik, dan menurunnya produksi minyak yang merupakan ekspor utama dari negara tersebut.
Menurut Oxford Economics, inflasi di Nigeria diperkirakan akan mencapai puncaknya hingga 33% pada kuartal kedua tahun 2024 dan memiliki kemungkinan kembali mengalami kenaikan akibat dari adanya resiko ekonomi negara di masa depan yang tidak terduga.
"Pemenuhan kebutuhan pasar yang berlebihan, tekanan nilai tukar yang terus melemah, dan kekurangan pangan serta bahan bakar mengancam stabilitas harga, sementara risiko inflasi meningkat secara besar," ucap Pieter Scribante, menambahkan.
Presiden Tinubu mengumumkan bahwa pemerintah berencana untuk mengumpulkan setidaknya $10 miliar atau sekitar Rp 156 triliun (kurs Rp 15.613) untuk meningkatkan likuiditas valuta asing dan menstabilkan mata uang Naira, menurut beberapa laporan media lokal.
Presiden juga mengatakan telah menghemat lebih dari $666,4 juta atau sekitar Rp 10 triliun (kurs Rp 15.613) dari hasil penghapusan subsidi yang akan dialihkan untuk investasi infrastruktur di negara tersebut. (fdl/fdl)