Presiden Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe berjanji akan mulai membayar utang luar negeri. Namun, hal itu baru bisa dilakukan dalam kurun 2027-2042.
Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri sejak Mei 2022. Sri Lanka gagal membayar utang setelah perekonomiannya mengalami krisis keuangan yang diperparah dengan kurangnya cadangan devisa.
Menyiasati hal tersebut, Sri Lanka melakukan negosiasi dengan para krediturnya setelah mendapatkan dana talangan US$ 2,9 miliar atau Rp 45 triliun (kurs Rp 15.721) dari Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) pada September 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada November 2023, Sri Lanka telah mencapai kesepakatan dengan sejumlah kreditur bilateral seperti India, China, dan Jepang. Namun, sampai saat ini, negara tersebut belum mencapai kesepakatan dengan pemegang obligasi dari sektor swasta.
Oleh sebab itu di hadapan parlemen pada Rabu (6/3), Wickremesinghe mengatakan bahwa Sri Lanka kemungkinan akan tetap mengalami gagal bayar (default) sampai 2027. Ia mengatakan hal itu akan memberi kesempatan bagi pemerintah untuk membangun kembali perekonomian, sekaligus kembali ke pasar keuangan internasional guna mengumpulkan dana untuk melanjutkan pembayaran utang.
"Perekonomian Sri Lanka mulai bangkit pada kuartal ketiga tahun 2023 dan lembaga keuangan internasional memperkirakan potensi pertumbuhan ekonomi berkisar antara 2% hingga 3% pada tahun 2024," katanya kepada anggota parlemen dikutip dari Reuters, Rabu (6/3/2024).
"Jika pendapatan pemerintah dapat dipertahankan pada tingkat yang substansial maka pembayaran utang tidak akan membebani negara," sambungnya.
Wickremesinghe menambahkan, cadangan devisa Sri Lanka sudah bertambah menjadi US$ 3 miliar. Sementara pada 2022, diketahui cadangan devisa negara itu sempat di bawah US$ 20 juta.
Ia menambahkan, keberhasilan negosiasi restrukturisasi utang Sri Lanka bakal menurunkan beban pembayaran utang luar negeri tahunan menjadi 4% dari produk domestik bruto (PDB).
(ara/ara)