Prabowo-Gibran Mau Tambah Kementerian Jadi 40, Bakal Efektif?

Prabowo-Gibran Mau Tambah Kementerian Jadi 40, Bakal Efektif?

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 14 Mei 2024 12:11 WIB
Ilustrasi Kabinet Prabowo-Gibran
Foto: Edi Wahtono
Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan berencana menambah jumlah Kementerian dari saat ini 34 menjadi 40. Namun apakah penambahan jumlah Kementerian di Indonesia ini bakal efektif?

Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan sejauh ini pemerintah belum memiliki keharusan yang mendesak hingga perlu menambah jumlah Kementerian di RI. Sebab menurutnya selama ini jumlah Kementerian yang ada sudah cukup mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.

"Indonesia sebetulnya yang 34 (Kementerian) itu sudah mumpuni dan ini juga kalau kita perhatikan dari statement dari Wakil Presiden, Pak Ma'ruf Amin, kan juga mengatakan jumlah Kementerian yang ada sebetulnya sudah memadai selama dia menjadi bagian dari pemerintahan," kata Firman saat dihubungi detikcom, Selasa (14/5/2024).

Selain itu menurutnya jumlah Kementerian yang ada tidak menentukan efisiensi atau efektivitas dari suatu pemerintahan. Sebagai contoh ia menyebut Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan negara besar namun hanya memiliki 15 Kementerian.

Meski memiliki permasalahan yang cukup kompleks, menurutnya negara adidaya itu masih bisa menjalankan fungsinya hanya dengan 15 Kementerian. Artinya kemampuan pemerintah tidak hanya ditentukan oleh jumlah Kementerian yang ada tapi bagaimana Kementerian itu bekerja.

Di sisi lain, menurutnya penambahan jumlah Kementerian RI jadi 40 ini malah akan menghambat efektivitas pemerintahan karena berbagai hal. Misal karena adanya tumpang tindih kewenangan antar Kementerian, atau karena masalah komunikasi dan birokrasi yang semakin berbelit, dan lain sebagainya.

"Ya faktor politik akan lebih banyak ya kalau jumlah Kementerian itu dibikin jadi lebih besar. Mungkin akan lebih menampung kompensasi politik daripada upaya untuk mengefektifkan kerja-kerja ke bawah sana," terangnya.

"Karena dengan jumlah yang besar mungkin juga akan terjadi komunikasi yang tumpang tindih, kemudian ada kendala klasik seperti ego-sektoral, sehingga siapa menjalankan apa jadi tumpang tindih, kemudian menjadi tidak efisien dalam eksekusinya, dan mungkin juga ada Kementerian yang kerjaannya tidak banyak," jelasnya lagi.

Di sisi lain, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan rencana penambahan jumlah Kementerian RI jadi 40 boleh-boleh saja dilakukan, asalkan hal itu bisa membantu pemerintahan Prabowo-Gibran nanti dalam meningkatkan kinerja yang lebih baik.

"Sebetulnya, kalau presiden mau dan itu demi pemerintahan yang lebih baik, janji-janji kampanyenya juga bisa terpenuhi dengan adanya tambahan Menteri, nggak masalah. Boleh-boleh saja," ujar Hendri.

Namun yang menjadi permasalahan adalah jika penambahan jumlah Kementerian ini dilakukan untuk bagi-bagi jabatan kepada para pendukung atau kubu politiknya. Sebab menurut Hendri yang terpenting dari pemerintahan bukanlah masalah kuantitas (jumlah Kementerian) tetap kualitas (kinerja).

"Yang jadi polemik itu kalau penambahan Kementerian itu kalau penambahan kementerian itu cuma gara-gara untuk menampung pendukung Prabowo, itu jangan ya. Jadi perdebatan ini bukan pada kuantitas, tapi pada tatanan kualitas," ucapnya.

Selain itu menurut Hendri dalam beberapa hal, misalkan untuk memenuhi janji-janji kampanye atau menjalankan program unggulan, pemerintah tidak harus selalu menambah jumlah Kementerian yang ada. Tapi bisa juga membentuk suatu lembaga atau badan baru yang bisa menjalankan program tersebut.

Oleh karenanya, ia menyarankan untuk benar-benar mempertimbangkan urgensi atau keharusan yang mendesak untuk dibentuknya Kementerian baru. Apalagi jika program atau fungsi tersebut bisa dilakukan tanpa membuat Kementerian baru.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan perlu tidaknya suatu pemerintahan menambah atau mengurangi jumlah Kementerian yang ada merupakan hak prerogatif presiden. Dalam hal ini presiden terpilih Prabowo.

"Yang berpendapat perlu atau tidak (menambah jumlah Kementerian) itu prerogatifnya presiden. Itu perlu tidak perlu itu berdasarkan analisisnya dia kan, kita tidak bisa mengatakan perlu atau tidak orang yang mengerjakan itu dia," kata Piter.

"Kan yang punya program itu Pak Prabowo, menurut saya kita tidak berhak untuk mengatakan perlu atau tidak, yang bisa mengatakan perlu atau tidak itu beliau," tegasnya lagi.

Kemudian Piter juga berpendapat efektivitas pemerintahan tidak serta merta ditentukan dari jumlah Kementerian yang ada. Melainkan dari siapa yang berada di dalam pemerintahan itu.

"Hasil dari susunan tim, itu tidak ditentukan oleh jumlah atau besarnya tim, yang dalam hal ini komposisi dari Menteri ya. Ya bisa saja menjadi lebih efektif, karena kita baru bisa menilai ketika susunan itu sudah bisa terjadi dengan semua penjelasannya," terang Piter.

Lihat juga Video: Momen Prabowo-Gibran Temui MBZ, Bahas Kerja Sama RI-UEA

[Gambas:Video 20detik]




(fdl/fdl)


Hide Ads