Raksasa elektronik asal Jepang, Toshiba, berencana akan mengambil Langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 4.000 karyawannya di Jepang. Keputusan ini diumumkan selang beberapa bulan setelah perusahaan 'didepak' dari bursa Jepang.
Melansir Reuters, Jumat (17/5/2024), langkah PHK ini pun akhirnya dilakukan perusahaan dengan tujuan untuk mempercepat restrukturisasi di bawah kepemilikan baru. Restrukturisasi ini mencakup hingga 6% dari tenaga kerja domestik Toshiba.
Selain itu, perusahaan juga mengatakan akan merelokasi kantornya dari pusat kota Tokyo ke Kawasaki, sebelah barat ibu kota. Toshiba juga menargetkan margin laba operasional bisa tembus hingga 10% dalam tiga tahun ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelombang PHK pun telah diumumkan oleh sejumlah perusahaan Jepang beberapa bulan terakhir. Hal ini termasuk pembuat mesin fotokopi Konica Minolta, perusahaan kosmetik Shiseido, dan perusahaan elektronik Omron.
Toshiba sendiri resmi delisting atau dihapus dari Bursa Tokyo pada akhir 2023 kemarin, setelah 74 tahun melantai. Hal ini terjadi usai pengambilalihan dana senilai US$ 13 miliar oleh konsorsium yang dipimpin oleh perusahaan ekuitas swasta Japan Industrial Partners (JIP).
Kondisi ini pun akhirnya membuatnya harus mundur dari Bursa Jepang secara sukarela. Upaya konsorsium untuk melakukan perubahan haluan di Toshiba itu dipandang sebagai ujian bagi ekuitas swasta di Jepang, yang dulunya dipandang sebagai 'hagetaka' atau burung nasar karena dinilai rakus.
Sebagai tambahan informasi, kejatuhan Toshiba diawali dugaan tindakan malpraktik keuangan di berbagai divisi Toshiba pada tahun 2015. Dikutip dari pemberitaan BBC beberapa waktu lalu, raksasa elektronik ini dituduh telah melebih-lebihkan laporan keuntungan sebesar US$ 1,59 miliar selama tujuh tahun.
Tidak berhenti di sana, pada akhir 2016 Toshiba sempat melakukan investasi dengan mengambil ahli sebuah proyek pengembangan pembangkit listrik bertenaga nuklir (PLTN) yang dikerjakan oleh AS Westinghouse Electric. Sayang, hanya berselang tiga bulan sejak pengambilalihan Westinghouse mengajukan kebangkrutan dan membuat harapan Toshiba membangun bisnis PLTN runtuh.
Untuk menghindari kebangkrutan, Toshiba lantas menjual berbagai lini bisnisnya mulai dari telepon seluler, alat-alat medis, dan barang-barang elektronik kebutuhan rumah tangga lainnya. Bahkan saat itu mereka harus menjual bisnis chip memori yang dianggap sebagai aset berharga dalam portofolio perusahaan.
Singkat cerita, di luar penjualan tadi Toshiba berhasil mendapatkan suntikan dana sebesar US$ 5,4 miliar pada akhir tahun 2017 dari investor luar negeri. Kondisi ini membantu perusahaan terhindar dari penghapusan paksa (forced delisting) dari bursa saham Negeri Sakura saat itu.
Namun, masuknya dana tambahan justru menimbulkan polemik baru di antara pemegang saham mayoritas perusahaan. Perselisihan pemegang saham yang berlarut-larut ini pun akhirnya mengakibatkan usaha produksi baterai, chip, serta peralatan nuklir dan pertahanan milik Toshiba lumpuh.
Belum lagi pada 2020, Toshiba kembali tertangkap tangan melakukan tindakan maladministrasi keuangan terkait tata kelola perusahaan dan cara pengambilan keputusan pemegang saham. Kemudian, pada investigasi tahun 2021 menemukan adanya kolusi oleh Toshiba dengan kementerian perdagangan Jepang, yang memandang Toshiba sebagai aset strategis untuk menekan kepentingan investor asing.
Tidak lama setelahnya, para pemegang saham mulai melakukan perdebatan mengenai apakah perusahaan tersebut harus dipecah menjadi perusahaan-perusahaan kecil. Akhirnya Toshiba pun membentuk sebuah komite untuk menjajaki apakah perusahaan tersebut dapat dijadikan perusahaan swasta.
Singkat cerita, alih-alih dipecah, sebagian besar saham Toshiba akhirnya dibeli oleh konsorsium yang dipimpin oleh JIP tadi dengan nilai transaksi mencapai US$ 14 miliar. Atas keputusan JIP inilah akhirnya Toshiba melakukan delisting secara sukarela dari bursa saham Tokyo.
(shc/rrd)