Solusi
Ada beberapa hal yang harus pemerintah Indonesia lakukan jika tidak ingin semakin tertinggal dari Vietnam. Pertama, buat dan berlakukan aturan pengelolaan lobster yang benar dan adaptif. Artinya aturan tersebut adaptif untuk jangka pendek, menegah dan panjang serta mampu mengimplementasikan amanah dari UUD 1945 Pasal 33 ayat 3.
Karena aturan merupakan instrumen penting untuk melaksanakan amanah UUD 1945. Hal tersebut menjadi kunci utama agar Indonesia memiliki pondasi kuat untuk pengembangan budidaya lobster. Menciptakan aturan tersebut memang tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil untuk dilakukan, yang sulit adalah mengawal implementasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ajak semua stakeholder yang terlibat mulai dari nelayan, pembudidaya, pengumpul lokal, pengumpul besar, pengusaha hingga akademisi melalui workshop ke setiap lokasi sumber BBL yang ada di Indonesia. Akomodir semua masukan dan kepentingan dari setiap stakeholder yang terlibat dengan mengedepankan peran akademisi dari segi keilmuan untuk menggodoknya.
Kedua, Sinkronkan aturan yang dibuat dengan Program Kampung Lobster di NTB. Susun master plan budidaya lobster secara komprehensif yang memuat rencana sumber benih dari mana saja, sumber pakan, lokasi pendederan 1 dan 2 serta lokasi pembesaran.
Berikutnya perkuat pengembangan teknologi pakan, sumber daya manusia, sistem pendederan dan pembesaran di darat dan laut melalui riset yang berkelanjutan dan didukung sarana infrastruktur berkualitas dengan melibatkan perguruan tinggi, pemprov, pemda, masyarakat dan pengusaha.
Selanjutnya perbaiki akses pasar yang sudah ada untuk distribusi lobster yang siap dilepas ke pasar lokal, nasional dan internasional. Dengan demikian Kampung Lobster di NTB nantinya menjadi prototype kawasan pengembangan lobster di Indonesia.
Ketiga, petakan secara mendetail wilayah Indonesia yang memiliki potensi pengembangan budidaya lobster secara bertahap dan berkelanjutan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Mulai dari kelayakan hidro oseanografi, ketersediaan sumber pakan, sumber benih dan akses pasar lokal, nasional dan internasional.
Keempat, integrasikan lokasi sumber BBL dengan wilayah budidaya yang telah dipetakan. Dengan demikian tercipta integrasi antar kawasan penghasil BBL dengan kawasan budidaya. Karena tidak semua wilayah perhasil BBL di Indonesia cocok untuk melakukan kegiatan budidaya lobster.
Kelima, jangan membuat aturan yang terlalu birokrasi dan panjang dalam mendukung iklim usaha budidaya lobster. Aturan sederhana saja namun berbobot dalam mendukung dan mengawasi ilkim usaha budidaya lobster di Indonesia. Semakin panjang rantai birokrasi dalam sebuah aturan, semakin besar pula peluang untuk melakukan korupsi.
Keenam, petakan jalur utama dan alternatif penyelundupan BBL baik melalui jalur darat, air dan udara. Setelahnya tingkatkan sistem pengawasan serta komitmen penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
Komitmen penegakan hukum menjadi kunci memberantas penyelundupan BBL, namun hal tersebut cukup sulit direalisasikan, karena berhadapan dengan sistem kerja penyeludupan yang rapi, memiliki modal kuat serta jaringan yang luas mulai pengusaha hingga kalangan birokrat. Namun mau tidak mau hal tersebut harus disikapi dengan serius dan bijak oleh pemerintah agar kasus penyelundupan BBL dapat berkurang dan diberantas habis.
Hemat penulis, tidak usah bermimpi menyaingi Vietnam 10-20 tahun ke depan, namun pemerintah Indonesia fokus saja memperkuat setiap tahapan yang telah diuraikan di atas, terutama terkait aturan pengelolaan lobster di Indonesia.
Jika hal tersebut dilakukan, Indonesia akan memiliki pondasi budidaya lobster yang kuat dan mapan serta mampu berdampak signifikan bagi kelestarian sumber daya lobster, memberikan kesejahteraan kepada nelayan, pembudidaya, pengusaha lokal dan peningkatan PNBP di masa depan.
Muhammad Qustam Sahibuddin
Peneliti PKSPL IPB
Simak Video "Video: Polisi Buru Pemilik Koper Berisi 11 Ribu Benih Lobster di Batam"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)