Perang pecah antara pasukan Thailand dan Kamboja di beberapa titik perbatasan kedua negara tetangga itu. Pemicunya adalah sengketa wilayah perbatasan.
Hingga kini Thailand dan Kamboja enggan berunding. Kedua negara Anggota ASEAN tersebut tetap saling melancarkan serangan militer.
Dari sisi ekonomi, Ketegangan antara negara tetangga ini terjadi di tengah pemberlakuan tarif balasan (resiprokal) dari Amerika Serikat (AS), dan rencana keduanya melakukan negosiasi ulang sebelum 1 Agustus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, pada Selasa 8 Juli, Presiden Donald Trump mengumumkan tarif balasan terhadap barang-barang yang masuk AS dari sejumlah negara, termasuk Thailand dan Kamboja.
Trump menggetok tarif buat Thailand dan Kamboja masing-masing 36%, dan berlaku mulai 1 Agustus 2025. Usai pengumuman Trump, Thailand dan Kamboja berencana negosiasi.
Kamboja
Menurut pemberitaan Khmer Times, Wakil Perdana Menteri sekaligus Wakil Presiden Pertama dari Dewan Pembangunan Kamboja (CDC) Sun Chanthol mengatakan Kamboja telah berhasil menegosiasikan pengurangan tarif resiprokal AS, dari 49% menjadi 36$.
"Saat ini, kami telah sangat berhasil dalam menegosiasikan tarif ini dengan Amerika Serikat, dan pencapaian ini merupakan hasil dari negosiasi yang beritikad baik, sebagaimana ditegaskan oleh Perdana Menteri Hun Manet," ujar Sun dikutip dari Khmer Times, Jumat (25/7/2025)
Namun, Sun menegaskan keputusan tarif 36% tersebut belum final, karena surat dari Presiden Donald Trump menyatakan tetap membuka pintu negosiasi lebih lanjut.
"Tim kami siap untuk bekerja sama lebih lanjut dengan Amerika Serikat guna mengupayakan pengurangan tambahan dalam tarif timbal balik. Penting untuk ditegaskan bahwa tarif ini belum final, kita masih memiliki kesempatan untuk bernegosiasi," terang Sun Chanthol.
Sun juga meminta semua perusahaan yang mengoperasikan pabrik di Kamboja untuk tetap tenang karena pemerintah berkomitmen penuh untuk melindungi pengusaha, pekerja, dan kepentingan rakyat Kamboja.
"Pemerintah akan terus melakukan segala daya upaya untuk melindungi kepentingan ekonomi kita," tegas Sun.
Thailand
Setali tiga uang, Thailand pun juga memilih bernegosiasi dengan Pemerintah AS usai digetok tarif 36%. Mengutip Bangkok Post, Menteri Keuangan Pichai Chunhavajira mengatakan Pemerintah Thailand hampir mencapai kesepakatan dengan AS untuk menurunkan tarif 36% sebelum batas waktu 1 Agustus.
Rencananya Negara tetangga Kamboja itu akan mengirimkan klarifikasi tambahan dan detail akhir proposalnya kepada pejabat perdagangan Pemerintah AS.
Kesepakatan diperkirakan akan diumumkan sebelum tarif baru berlaku, karena Thailand telah memberikan hampir semua yang diminta Pemerintah AS.
"Kami telah menyelesaikan lebih dari 90% negosiasi. Hari ini atau besok seharusnya menjadi tahap terakhir. Tinggal sedikit lagi. Beberapa permintaan penjelasan dan permintaan datang dari pihak mereka, dan saya perlu meninjaunya untuk memastikan semuanya benar-benar lengkap," beber Pichai yang memimpin tim negosiasi Thailand, dikutip dari Bangkok Post, Jumat (25/7).
Pichai berharap Thailand mendapatkan tarif baru yang sejalan dengan negara-negara tetangganya. Presiden Donald Trump sebelumnya telah mengumumkan kesepakatan tarif 20% untuk barang-barang Vietnam dan 19% untuk Indonesia.
Nasib Negosiasi dengan AS?
Namun, faktanya kini Thailand dan Kamboja justru sedang berperang. Konflik bersenjata justru terjadi di beberapa hari terkahir menjelang batas waktu penerapan.
Pertanyaannya sekarang, bisakah kedua negara kembali duduk berunding dengan Pemerintah AS, di tengah peperangan yang belum selesai?
Ataukah kedua negara berunding dulu untuk berdamai baru masing-masing kembali berunding dengan Pemerintah AS?
Kita Tunggu saja bagaimana akhirnya nanti. Yang jelas, Trump sudah menegaskan bagi yang tidak berunding hingga batas waktu 1 Agustus nanti, maka tarif baru berlaku.
(hns/hns)