SWF, Danantara, dan Agenda Indonesia

Kolom

SWF, Danantara, dan Agenda Indonesia

Riant Nugroho - detikFinance
Jumat, 25 Jul 2025 06:52 WIB
Badan investasi Danantara menempati kantor baru yang berlokasi di bekas Plaza Mandiri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Ilustrasi.Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta -

Menjelang akhir Juli 2025, Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia, Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) melaporkan baru saja mengamankan pendanaan raksasa senilai US$ 10 miliar, setara dengan Rp 163, 18 triliun, dari 12 bank dari luar negeri.

Dinyatakan bahwa pinjaman ini menjadi amunisi awal untuk menggaet lebih banyak lagi investor asing, di mana Danantara siap menawarkan berbagai proyek investasi yang menjanjikan dengan keuntungan yang optimal. Kepada publik, dilaporkan bahwa dalam kurun waktu empat bulan sejak diresmikan, Danantara telah menerima total pinjaman senilai US$ 7 miliar atau sekitar Rp 114, 23 triliun.

Pendanaan ini mengalir dalam bentuk ekuitas, baik publik maupun privat, melalui kerja sama dengan sovereign wealth fund lainnya. Qatar menyumbang US$ 4 miliar (Rp 65, 27 triliun), China Investment Corporation (CIC) sebesar US$ 2 miliar (Rp 32, 64 triliun), dan Russian Direct Investment Fund (RDIF) turut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Danantara juga telah menerima dokumen Pra Feasibility Study (FS) untuk 18 proyek hilirisasi dengan total investasi mencapai US$ 38, 63 miliar atau sekitar Rp 618, 13 triliun, di antaranya dari hilirisasi minerba (8 proyek), pertanian (3 proyek), kelautan dan perikanan (3 proyek), hingga transisi energi (2 proyek) dan ketahanan energi (2 proyek).

Tidak dipungkiri, Danantara menjadi engine dari pertumbuhan industri nasional, dan menjadi pusat dari pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang dapat mencapai 8% per tahun, untuk memastikan tercapainya Indonesia yang mandiri dan sejahtera.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, untuk menjaga Kredibilitas Danantara, Presiden mengamantkan agar return yang diberikan berada di angka 7,5%, di atas yield obligasi Indonesia pada Juli 2025 sebesar 6,48%.

Agenda pemerintah adalah memastikan "mesin ekonomi" yang dibanggakan ini "bekerja" dengan baik. Agenda publik adalah mengawasi agar Danantara bekerja baik. Bagi publik, salah satu caranya adalah memahami keberadaan suatu SWF, di mana ada dua jenis SWF: yang berbasis kelebihan uang, dan yang berbasis kekurangan uang.

Dua Jenis SWF

Sovereign Wealth Fund (SWF) telah menjadi alat penting dalam strategi pembangunan dan diversifikasi ekonomi negara. SWF bahkan menjadi instrumen strategis dalam tata kelola keuangan pada beberapa negara. Ada dua jenis SWF, pertama yang bersumber dari kelebihan pendapatan negara atau SWF berbasis kelebihan finansial (financial excess).

Beberapa waktu kemudian, dengan kecerdasan ilmu keuangan, dibentuk SWF berbasis valuasi aset dan proyeksi pendapatan (atau berbasis utang tersirat) bagi negara yang tidak memiliki kelebihan finansial. Masing-masing memiliki implikasi fiskal, politik, dan tata kelola yang sangat berbeda.

Pertama, SWF Berbasis Financial Excess lahir dari negara yang memiliki kelebihan pendapatan, seperti dari sektor minyak dan gas, atau surplus perdagangan. Dana ini kemudian diinvestasikan ke berbagai aset global untuk tujuan, yaitu menjaga stabilitas fiskal, menjamin kesejahteraan antar-generasi (intergenerational equity), dan diversifikasi ekonomi.

Misalnya Norwegia dengan Government Pension Fund Global, mengelola lebih dari US$1,4 triliun (2024), berbasis surplus pendapatan minyak dan gas, Qatar dengan Qatar Investment Authority, menggunakan surplus dari LNG untuk investasi internasional, dan Singapura GIC-nya mengelola cadangan devisa dan Temasek Holdings mengelola BUMN.SWF jenis pertama ini tidak bergantung pada utang, stabil dan konservatif, dengan implikasi fiskal yang rendah.

Kedua, SWF Berbasis Valuasi Aset dan Proyeksi Pendapatan (Quasi-Leveraged). Model ini muncul dari negara yang tidak memiliki surplus fiskal, memiliki aset negara yang bisa di-valuasi (jalan tol, pelabuhan, tanah negara), mengandalkan skema pembiayaan kreatif seperti blended finance, co-investment, bahkan pinjaman luar negeri.

Model ini mempunyai risiko fiskal tinggi jika proyek gagal atau overvalued, di mana garansinya adalah uang negara sehingga berpotensi menekan APBN, di mana pada akhirnya kegagalan investasi dikembalikan melalui pajak, dan dapat memunculkan beban keuangan kepada generasi mendatang.

Negara yang menerapkannya misalnya Argentina yang diselenggarakan dengan cara menjaminkan aset publik untuk pembiayaan infrastruktur, yang kemudian menyebabkan krisis ketika valuasi gagal. Malaysia membangun 1MDB yang kemudian terjendala. Indonesia melakukan melalui Indonesia Investment Authority (INA) menggunakan model co-investment berbasis aset BUMN dan infrastruktur, lalu menarik investor luar untuk membiayai proyek strategis. INA ini kemudian dikembangkan menjadi Danantara.

Agenda SWF Berbasis Utang

SWF berbasis valuasi aset atau berbasis utang/proyeksi pendapatan masa depan memiliki sejumlah bahaya struktural. Risiko pertama adalah overvaluasi aset negara. Negara bisa menilai terlalu tinggi (overvalue) aset seperti pelabuhan, jalan tol, tanah, atau BUMN untuk menjadikannya modal awal SWF. Namun, nilai ini bersifat proyeksi dan tidak likuid, sehingga jika ekspektasi pasar berbeda, aset itu gagal menarik investor atau bahkan tidak bisa digadaikan ulang.

Argentina pernah menilai aset energi dan infrastruktur terlalu tinggi, yang kemudian gagal mendatangkan return seperti yang dijanjikan kepada investor. Samruk-Kazyna, SWF milik negara, menanggung beban dari proyek-proyek infrastruktur overvalued, akhirnya negara menghadapi tekanan fiskal akibat proyek yang gagal mendatangkan return.

Risiko ke dua adaah risiko fiskal terselubung. Meskipun tidak tercatat sebagai utang langsung pemerintah, quasi-fiscal risk tetap muncul. Jika SWF gagal membayar kembali investor atau gagal menarik return, negara akan terpaksa menalangi dari APBN, yang pada akhirnya dibayar rakyat melalui pajak atau pengurangan subsidi. Pinjaman SWF digaransi oleh keuangan negara, di mana jika proyek gagal, negara (melalui BUMN atau Kementerian Keuangan) akan menanggung kerugian tersebut, secara implisit dijamin pajak rakyat.

Risiko ke tiga model ini mendorong utang terselubung (shadow debt). Model ini bisa menjadi bentuk financial engineering yang mendorong utang tanpa tampak seperti utang. SWF menarik pinjaman atau mitra strategis berdasarkan proyeksi keuntungan, namun jika gagal, tidak ada mekanisme yang langsung melindungi publik.

Pemerintah Argentina pernah menggunakan aset negara untuk menjamin investasi proyek infrastruktur dan energi. Krisis ekonomi 2018 membuat investor menarik diri. Nilai aset jatuh, utang menumpuk, dan IMF harus turun tangan menyelamatkan fiskal negara. Angola Menggunakan SWF untuk investasi di luar negeri dan pembangunan domestik. Korupsi dan proyek gagal menyebabkan aset hilang, Angola menjadi "pasien" IMF.

Risiko ke empat adalah moral hazard dan korupsi. Valuasi aset dan pembangunan proyek yang tidak transparan membuka peluang bagi elite politik atau kroni untuk mengarahkan proyek, menggelembungkan nilai aset, atau menyalahgunakan investasi.

1MDB, sering disebut sebagai kuasi SWF dari Malaysia, menggunakan mekanisme leveraged investment untuk mendanai proyek besar. Kemudian, terdeteksi korupsi dan penyelewengan dana dalam jumlah besar, akibatnya negara menanggung utang miliaran dolar, reputasi internasional jatuh, dan skandal menggulingkan pemerintahan. Ini kasus paling dramatis kegagalan SWF semu.

Risiko ke lima adalah ketergantungan pada investor asing. SWF jenis ini sering menggantungkan diri pada foreign direct investment (FDI) atau pinjaman luar negeri. Jika terjadi gejolak global (misalnya kenaikan suku bunga, geopolitik), investasi dapat mandek dan proyek terbengkalai.

Misalnya, jika investor dari Timur Tengah atau mitra institusional (seperti Abu Dhabi atau US pension funds) menarik diri, proyek-proyek yang direncanakan bisa terhenti, sementara negara sudah terlanjur menjaminkan aset atau mengeluarkan modal awal.

Danantara adalah SWF jenis ke dua dengan risiko yang sangat besar. Tugas publik adalah memastikan kelima risiko tersebut dapat dihindari, setidaknya dimanajemeni, dan tidak membebani keuangan publik hari ini dan ke masa depan.

Caranya adalah melibatkan publik dalam pengawasan Danantara melalui keberadaan sejumlah pemuka masyarakat yang kritis dan berintegritas di dalam tata kelolanya; dan tidak cukup dengan mengandalkan sesama organisasi pemerintahan sebagai pengawasannya, sebagaimana sekarang ini.

Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

(hns/hns)

Hide Ads