Sistem kemitraan yang digunakan pada transportasi online, baik ojek, taksi, dan kurir online diminta untuk dihapuskan. Sistem ini dinilai bisa melanggar hak asasi manusia (HAM).
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menjelaskan skema kemitraan antara pengemudi dan aplikator transportasi online telah dikritisi oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM). Sistem kemitraan disebut tak bisa lagi dilanjutkan implementasinya.
"Karena adanya potongan platform 20%-30% yang tidak adil, upah yang tidak layak, tidak adanya jaminan sosial, menghindari kewajiban platform sebagai pemberi kerja kepada para pengemudi. Atas dasar itu Kementerian HAM menyatakan bahwa hubungan kemitraan tersebut tidak bisa dilanjutkan," palar Lily dalam keterangannya kepada detikcom, Minggu (27/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus dibongkar akar masalah yang bersumber pada hubungan kemitraan yang tidak memanusiakan para pengemudi ojol, taksol dan kurir," tegasnya.
Kementerian HAM sendiri sebelumnya sudah menyatakan model kemitraan antara pengemudi ojol dan penyedia aplikasi yang berlangsung hingga saat ini masih bersifat tidak setara alias imbalance power. Kementerian HAM mendorong adanya perubahan dalam model kerja berbentuk kemitraan yang diterapkan saat ini agar tidak melanggar hak asasi para pengemudi.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kemenham Munafrizal Manan menilai model kemitraan transportasi memberikan posisi tawar pihak penyedia aplikasi lebih tinggi dan dominan daripada pengemudi. Para pengemudi ojol seperti dikondisikan untuk menerima skema apa pun yang dibuat secara sepihak oleh penyedia aplikasi.
"Adanya sifat imbalance power antara keduanya menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya tidak murni berbentuk kemitraan, tetapi justru berbentuk subordinasi, di mana penyedia aplikasi dalam posisi superior, sedangkan pengemudi ojol dalam posisi inferior," tutur Munafrizal dilansir dari Antara.
Pihaknya melihat status kemitraan dan pekerjaan pengemudi ojol dijadikan dalih untuk menghindari kewajiban terhadap hak-hak dasar pengemudi transportasi online.
Seharusnya, istilah mitra tidak boleh dijadikan sebagai perisai menghindari kewajiban hukum. Pihaknya mendapati adanya kecenderungan perusahaan aplikator memanfaatkan istilah tersebut untuk menghindari kewajiban sebagai pemberi kerja.
"Model kemitraan seperti versi sekarang tidak boleh diteruskan atau dipertahankan. Apabila masih diteruskan atau dipertahankan, maka itu menjadi wujud itikad buruk perusahaan aplikator untuk sengaja melanggar HAM terhadap para pengemudi ojol," tegas Munafrizal.
Buat Regulasi Baru
Di sisi lain, Munafrizal juga menilai regulasi transportasi online yang ada saat ini seperti memberi celah hukum bagi perusahaan aplikator untuk menempatkan entitasnya dalam posisi yang lebih dominan dan superior.
Maka dari itu, pihaknya merekomendasikan agar kementerian dan lembaga terkait bisa memperjelas status perusahaan aplikator sebagai penyelenggara transportasi online yang tunduk pada hukum transportasi umum atau hanya sebagai penyelenggara aplikasi digital yang tunduk pada hukum teknologi digital.
Pihaknya juga merekomendasikan untuk membuat sebuah regulasi yang lebih kuat dan komprehensif guna mengatur tata kelola transportasi online yang lebih adil dan humanis. Sarannya adalah menerbitkan regulasi yang mengatur pengakuan dan perlindungan pengemudi.
Regulasi lainnya yang dipandang Munafrizal perlu untuk diterbitkan, yaitu pembedaan klasifikasi pengemudi ojol penuh waktu yang berstatus sebagai pekerja dan pengemudi ojol paruh waktu yang berstatus sebagai mitra dengan hak dan kewajiban yang berbeda.
Pandangan dan rekomendasi kebijakan dari Kementerian HAM merupakan kesimpulan dari tindak lanjut penanganan pengaduan HAM atas permasalahan pengemudi transportasi online yang diterima pada 22 Mei 2025. Kala itu Kementerian HAM menerima audiensi para pengemudi ojol yang tergabung dalam Koalisi Ojek Nasional.
(hal/kil)