Danantara Hapus Tantiem Komisaris BUMN, Apa Dampaknya?

Heri Purnomo - detikFinance
Senin, 04 Agu 2025 12:57 WIB
Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta -

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) mulai melakukan reformasi kebijakan skema kompensasi, tantiem, insentif, dan penghasilan bagi direksi dan komisaris BUMN. Dalam kebijakan baru ini, komisaris ditetapkan tidak lagi mendapatkan tantiem.

Kebijakan ini dituangkan dalam Surat S-063/DI-BP/VII/2025, penyesuaian tantiem akan mulai diimplementasikan untuk tahun buku 2025 bagi seluruh BUMN portofolio di bawah BPI Danantara.

Terkail hal tersebut, Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan mengatakan langkah tersebut merupakan baik untuk tata kelola BUMN ke depannya. Ia mengatakan dana yang tadinya untuk insentif dan tantiem tersebut bisa dialihkan untuk mendukung investasi BUMN itu sendiri.

"Keputusan yang dibuat oleh Danantara itu baik, sehingga motif dapat tantiem bagi Dewan Komisaris bisa dihilangkan. Dananya malah bisa dipake BUMN untuk mendukung investasi perusahaan," katanya saat dihubungi detikcom, Senin (4/8/2025).

Hanya saja, Herry menilai SE tersebut belum cukup kuat. Hal ini dikarenakan masih adanya regulasi dari Kementerian BUMN sebagai regulator yang mengatur pemberian tantiem dan insentif.

Ia menjelaskan, regulasi tersebut yakni Peraturan Menteri BUMN No. PER-12/MBU/11/2020 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri BUMN No. PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewa Pengawas Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan tersebut, BUMN tantiem dapat diberikan asal perusahaan tidak semakin rugi.

"Klausul tidak semakin rugi itu, berarti BUMN boleh kasih tantiem walaupun perusahaan masih rugi, namun kerugiannya lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Ini kan ada buktinya, BUMN rugi tetap bayar tantiem," katanya.

Herry juga menyoroti, inkonsistensi penerapan standar internasional yang dilakukan Danantara. Ia menyebut Danantara hanya mengambil sebagian prinsip tata kelola dari OECD yang menguntungkan, namun mengabaikan aspek penting yakni kebijakan menghindari conflict of interest dan kepatuhan terhadap hukum.

"Pengabaian terhadap prinsip OECD yang penting itu, misalnya, dengan memasukkan para pejabat publik termasuk Eselon 1 sebagai komisaris BUMN. Regulator merangkap operator. Ini jelas ada benturan kepentingan. Selain itu, standar OECD juga mendorong soal kepatuhan hukum, tapi menempatkan Wamen sebagai komisaris yang jelas-jelas melanggar hukum namun dibiarkan," katanya.

Senada, Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto mengatakan, kebijakan komisaris ditetapkan tidak lagi mendapatkan bonus tantiem dari laba perusahaan ini akan menjaga objektivitas dewan komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasan.

"Dewan komisaris melakukan pengawasan dengan lugas karena tidak ada kaitan dengan insentif tantiem," katanya.

Ia menilai bahwa selama ini fungsi pengawasan dewan komisaris belum optimal. Hal ini dikarenakan mereka berharap laba bersih yang tinggi dari perusahaan supaya mendapatkan tantiem.

Namun demikian, Toto juga mengingatkan potensi efek negatif yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, yakni berkurangnya minat talenta terbaik untuk duduk sebagai komisaris. Solusinya, kata Toto, bisa dengan menaikkan gaji atau honor tetap dewan komisaris, namun disertai peningkatan beban kerja dan akuntabilitas yang sesuai.

"Sebagai imbangannya maka Key Perfomance Indikator (KPI) Monitoring kinerja dewan komisaris ditingkatkan. Misal dewan komisaris bukan lagi target normatif/rutin , tapi lebih difokuskan pada pengawasan substantif terkait corporate actions yang dikerjakan BUMN," katanya.

Lihat juga Video: IHSG Ditopang Oleh Isu Danantara "Menyuntik" Beberapa Saham




(acd/acd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork