Kerja Kantoran Kian Langka, Ternyata Ini Biang Keroknya!

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Senin, 13 Okt 2025 15:33 WIB
Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat proporsi penduduk Indonesia yang bekerja di sektor formal kian melemah. Per Februari 2025, proporsi pekerja formal tercatat turun menjadi 40,60%, dari sebelumnya 40,83% pada periode yang sama di 2024 lalu.

Padahal pekerjaan-pekerjaan di sektor formal seperti menjadi pegawai kantoran ataupun buruh tetap inilah yang biasanya mampu memberikan kestabilan pendapatan hingga jaminan sosial bagi para pekerjanya.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menjelaskan terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab melemahnya pertumbuhan jumlah pekerja formal dalam negeri. Menurutnya faktor penghambat ini ada dari sisi demand atau perusahaan-perusahaan penyerap tenaga kerja maupun dari sisi suplai alias para pekerja itu sendiri.

Dari sisi demand, Tauhid mengatakan saat ini sebagai besar investasi yang masuk ke Indonesia menyasar sektor-sektor usaha padat modal atau pada teknologi. Alhasil investasi ini tidak banyak menciptakan lapangan kerja baru untuk masyarakat.

"Problem-nya adalah pertumbuhan ekonomi itu didorong oleh investasi yang padat modal dan juga mengarah kepada padat teknologi ketimbang ke padat tenaga kerja. Jadi memang pertumbuhan ekonomi nggak inklusif ke pasar kerja," terangnya kepada detikcom, Senin (13/10/2025).

Sementara dari segi suplai, menurut Tauhid sumber daya manusia (SDM) dalam negeri sering kali memiliki kualifikasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini terlihat dari banyak sekali lulusan-lulusan pendidikan menengah ke atas terutama SMA/SMK, hingga Sarjana yang tak masuk sebagai jumlah penduduk bekerja.

Bahkan dalam data ketenagakerjaan yang diterbitkan BPS, hanya 12,83% dari total 145,77 juta penduduk bekerja di Indonesia yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Artinya hanya ada 15,22 juta pekerja dalam negeri adalah lulusan Diploma IV, S1, S2, hingga S3.

Sementara 52,31 juta orang atau 35,89% pekerja merupakan lulusan SD ke bawah, lalu 25,96 juta orang atau 17,81% pekerja adalah lulusan SMP, 30,08 juta orang atau 20,63% lulusan SMA, 18,72 juta orang atau 12,84% luluaan SMK, dan sisanya sebanyak 3,48 juta orang atau 2,39% adalah lulusan Diploma I/II/III.

"Sisi suplai memang lagi-lagi ya kaitannya dengan sumber daya manusia, SDM ini banyak sekali lulusan-lulusan yang sektor pendidikan menengah ke atas terutama SMA sama SMK, plus juga Sarjana tidak memenuhi kebutuhan pasar," terangnya.

"Misalnya skill tertentu bidang digitalisasi, bahasa asing, penguasaan teknologi dan sebagainya itu relatif terbatas atau misalnya tidak memenuhi standar-standar sertifikasi atau kualifikasi keterampilan kerja," sambungnya.

Di luar itu, Tauhid mengatakan struktur ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada sektor UMKM juga menjadi persoalan lain yang membuat penciptaan lapangan kerja formal menjadi sangat terbatas.

"UMKM itu kan menyumbang 60% daripada PDB kalau dari angka kementerian UMKM. Jadi kalaupun ada perkembangan mereka, otomatis penyerapan tenaga kerjanya yang formal juga relatif kecil," ucapnya.

"Kalau lapangan kerja formal kan banyak di sektor usaha menengah dan besar. Misal pabrik, industri, perusahaan-perusahaan. Tapi kalau yang UMKM kan jumlahnya sedikit, dia paling punya pegawai berapa sih? satu, dua, tiga orang saja kan," tambah Tauhid.

Kemudian ia juga tidak memungkiri perkembangan teknologi turut membuat jumlah lapangan kerja formal yang dibuka perusahaan jadi sangat terbatas. Sebab banyak fungsi atau posisi yang dulunya dijadikan oleh pekerja, kini sudah digantikan teknologi.

Sementara itu, Pengamat sekaligus Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza mengatakan masih ada banyak faktor yang membuat penciptaan lapangan kerja formal masih sangat terbatas. Mulai dari perubahan status kerja hingga realisasi investasi yang lama.

'Kalau dulu kan bahkan pengemudi itu pekerja tetap. Itu pegawai tetap, ada pensiunnya. Nah, kalau sekarang, karena tuntutan zaman, itu dia berubah. Bukan lagi jadi pegawai, itu mitra. Mitra itu statusnya bukan pegawai tetap, bukan pegawai formal. Jadi memang ada perubahan bentuk dari tadinya yang pegawai atau jabatan-jabatan yang tadinya statusnya pegawai atau formal, sekarang menjadi informal," jelas Ivan.

Kedua, masalah ketersediaan lapangan kerja tetap atau formal tadi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi satu negara atau satu tempat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka otomatis akan terbuka lebih luas posisi atau pekerjaan formal.

ketiga, Ivan mengatakan sebagian besar realisasi investasi di Indonesia berjalan sangat lambat. Misalkan saja untuk bangun pabrik, biasanya dibutuhkan waktu hingga 2 tahun mulai dari pengurusan surat-surat izin hingga bangunan pabrik rampung.

'2 tahun itu setelah masuk investasi itulah baru merekrutnya itu. Jadi isunya adalah tadi, yang datang ke Indonesia itu belum merekrut. Jadi sudah mau masuk, sudah mau bangun, sudah mau bisnis, itu ada. Eskalasi atau percepatannya itu nggak ada," jelasnya.

Tonton juga video "KuTips: Dear Pekerja Kantoran, Atur Target Minum Jangan Sampai Dehidrasi!" Di sini:




(igo/fdl)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork