Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman menjelaskan, 80% komponen pembuatan pakan ternak disuplai dari luar negeri.
"Industri pakan ternak itu komponen antara 75-80% (impor). Salah satu contoh bahan baku yang paling kena adalah bungkil kedelai, itu dari Argentina dan Brasil impor. Komoditas ini bukan hanya terdampak karena dolar yang naik tapi juga ada internasional marketnya juga naik, jadi ini sudah jatuh tertimpa tangga," kata dia kepada detikFinance, Selasa (8/5/2018).
Ia menjelaskan, industri ini terkena dampak dua kali, setelah USD naik menjadi Rp 14.000 kemudian harga bahan baku di pasar juga naik. Ia mengatakan, pakan ternak bisa terpangaruh karena fluktuasi harga komoditas internasional dan fluktuasi curancy USD. Kondisinya kata Sudirman kedua hal ini sedang mengalami kondisi buruk dengan nilai yang terus melambung tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudirman merinci, 80% komponen impor untuk untuk membuat pakam ternak diantaranya yaitu bukil kedelai yang didatangkan dari Argentina dan Brasil, tepung tulang dan daging yang didatangkan langsung dari Newzeland, Australia dan Amerika. Minyak jagung dari Amerika dan vitamin yang didatangkan langsung dari China dan Australia.
"Garam kita impor, waktu itu impor garam tersendat itu kita juga terganggu. Semua masih impor," kata dia
Jika hal ini terus terjadi maka kenaikannharga pakan ayam kata Sudirman sudah pasti terjadi.
"Kalau kombinasi antara kenaikan harga komoditas dan depresiasi rupiah, itu bisa saya hitung itu seharusnya, itu harga pakan akan naik 10%," kata dia.
Dengan adanya kenaikan harga jual pakan ternak, dikhawatirkan hargu jual daging ayam akan ikut menanjak seiring meningkatnya biaya produksi yang disumbang kenaikan harga pakan tersebut.
"Artinya kalau misalnya harga pakan Rp 6.500-7000/kg nanti kenaikannya bisa kalau nggak ganggu struktur biaya itu harusnya naik jadi Rp 6.550-7.700/kg," beber dia.