Dampak Dolar AS Rp 14.000 ke Ekonomi RI

Dampak Dolar AS Rp 14.000 ke Ekonomi RI

Selfie Miftahul Jannah - detikFinance
Rabu, 09 Mei 2018 08:30 WIB
Dampak Dolar AS Rp 14.000 ke Ekonomi RI
Foto: Rengga Sancaya

Bank Indonesia (BI) angkat bicara terkait dengan dolar Amerika Serikat (AS) yang terus mencatatkan penguatan. Pagi ini saja, mata uang negeri Paman Sam sudah bertengger di Rp 14.040 yang merupakan posisi tertinggi sejak awal tahun.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan pasar pergerakan nilai tukar tersebut hanya bersifat sementara karena kebijakan AS yang ingin menaikkan suku bunga.

"Gini yah, kurs di dunia ini seperti sudah dijelaskan berkali-kali Bank Indonesia, saat ini sedang terjadi kenaikan suku bunga Amerika ya, dan tentu kenaikan suku bunga Amerika membuat adanya perubahan pergerakan modal di dunia," kata Mirza usai rakor inflasi di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, volatilitas nilai tukar yang sekarang terjadi tidak sama seperti pada 2013 dan 2015. Di mana, pada saat itu AS mengumumkan ingin menaikan suku bunga pada 2013 dan direalisasikan pertama kalinya pada 2015. Pada saat itu, dia bilang, dampak terhadap nilai tukar rupiah sangat kencang.

"Tapi kalau sekarang 2018 kenaikan suku bunga Amerika yang terus berlanjut ya ini menurut kami volatilitas sementara saja," ujar dia.

Dengan volatilitas yang sementara, Mirza berpesan kepada pasar domestik untuk tidak khawatir dalam menyikapi kebijakan yang akan diambil oleh Amerika.

Menurut dia, dampak pelemahan mata uang tidak hanya Indonesia sendiri yang merasakan. Melainkan negara-negara lain seperti Filipina, India, Brasil, Turki, Swedia, Norwegia, dan Australia pun terkena dampaknya.

"Memang negara-negara yang angka ekspor impor barang jasanya itu ada defisit itu cenderung kursnya agak melemah tapi nggak usah khawatir karena kalau kita ekspor impor barang jasanya itu defisit memang dan kondisi ddefisitnya melebat cuma masih dalam posisi yang prudent dari 1,7% PDB tahun lalu tahun ini menjadi 2,2 atau 2,3% PDB itu masih angka yang sangat prudent di bawah 3% PDB," ungkap dia.

Hide Ads