Jakarta -
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah tinggalkan level Rp 14.000 pekan lalu. Dolar AS lengser dan parkir di Rp 13.949 pada Jumat (11/5/2018) sore.
Bila ditarik sejak awal tahun, 1 Januari 2018, mata uang Paman Sam itu tengah berada pada tren penguatan. Posisi tertinggi the greenback tahun ini di Rp 14.080.
Meski saat ini nilai dolar AS mulai turun terhadap rupiah, dolar AS diprediksi masih berpotensi menguat hingga tembus ke level Rp 15.000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak yang ditimbulkan dari menguatnya dolar AS terhadap rupiah pun beragam.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira melihat fundamental perekonomian Indonesia saat ini tak begitu baik. Selain itu terjadi pengetatan ekonomi maupun moneter global. Hal ini bisa membuat rupiah tersungkur, dan dolar AS menembus Rp 15.000 di hingga akhir tahun.
"Yang kita khawatirkan kalau kondisi fundamental memburuk, ada pengetatan ekonomi atau moneter global, ini dolar AS bisa bergerak naik terus Rp 14.100, Rp 14.200, sangat mungkin menuju Rp 15.000 pada akhir 2018," katanya dalam diskusi Nasib Perusahaan "Pelat Merah di Bawah Kebijakan Rini Soemarno, di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, Minggu (13/5/2018).
Tapi Bhima menilai Bank Indonesia (BI) cukup responsif dengan rencana menaikkan suku bunga 7 Days Reverse Repo. Walaupun dianggap sudah terlalu terlambat, ini bisa menahan pelemahan rupiah.
"Karena sekarang sudah terlambat, kita inginkan bunga acuannya kalau bisa segera dilakukan penyesuaian 25-50 basis poin. Efeknya kalau bunga acuannya naik, maka return atau imbal hasil dari beberapa instrumen investasi dalam negeri akan lebih menarik bagi investor asing," jelasnya.
Jika dolar AS terus menguat berpotensi membahayakan badan usaha milik negara (BUMN) khususnya yang non keuangan atau perbankan. Pasalnya mereka kebanyakan berutang menggunakan valuta asing (valas) atau mata uang asing.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), total utang BUMN mencapai Rp 4.343 triliun pada 2017. Untuk BUMN non perbankan atau non finansial mencapai Rp 610,7 triliun, dan 60% berbentuk valas.
"Kalau kita cek dari Rp 610,7 triliun total utang BUMN non perbankan, 60% utang dalam bentuk valas. Kalau sampai dolar Rp 15.000, ini BUMN kita yang akan kolaps, dan itu bukan main main," lanjutnya.
Menurutnya, kondisi ini terus dibiarkan, dan seolah-olah menganggap semuanya baik-baik saja. Padahal ada permasalahan yang tidak bisa dibiarkan.
"Kalau ramalan itu terbukti dan 60% (utang) BUMN non keuangan itu berbentuk valasi, ini problem yang sangat serius, dan ini bagaimana kalau terus begini, terus dibiarkan, dan seolah nggak ada permasalahan dalam manajemen BUMN, termasuk manajemen keuangannya," ujarnya.
Jika Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya, 7 Days Reverse Repo, tak menutup kemungkinan rupiah bertahan di level Rp 13.800-Rp 13.900 terhadap dolar AS sampai akhir tahun.
"Nah ketika mereka (investor) kembali lagi, artinya permintaan rupiah menjadi lebih baik, dan itu setidaknya (dolar AS) bisa kembali ke Rp 13.800-Rp 13.900, stabil sampai akhir tahun itu bisa kurang lebih," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira.
Namun langkah ini sebenarnya dianggap terlambat. Karena BI lambat menyesuaikan suku bunga acuan, dinilai Bhima membuat cadangan devisa negara banyak terkuras.
"Andai kata pada Maret ketika Fed Rate naik 25 basis poin kita langsung respons dengan kenaikan 25 basis poin 7 Days Reverse Repo itu, maka shock dari kapital itu bisa menjadi berkurang atau tertahan ya. Nggak sampai kayak sekarang, dan cadangan devisa kita mungkin tidak akan tergerus," tambahnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman