Jakarta -
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali mencatat rekor terhadap rupiah. Setelah pekan lalu menyentuh posisi tertinggi tahun ini, dolar AS berhasil menembus level Rp 14.674 pada perdagangan sore (29/8) kemarin.
Mengutip data perdagangan Reuters, angka tersebut tercatat sebagai posisi tertinggi dalam kurun tiga tahun terakhir. Terakhir kali dolar AS menekan rupiah di posisi tertinggi sebelum ini ada di level Rp 14.700-an pada Oktober 2015.
Hal ini lantas kian menguatkan proyeksi para analis yang berpendapat bahwa rupiah akan semakin tertekan jelang kenaikan suku bunga the Fed untuk yang ketiga kalinya tahun ini. The Fed sendiri diperkirakan menaikkan suku bunga hingga dua kali lagi sampai akhir tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut catatan pergerakan dolar AS hingga mencapai posisi tertingginya dalam tiga tahun terakhir:
Sebelum mencetak rekor pada sore hari, nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah sudah menunjukkan tanda-tandanya di pembukaan perdagangan. Dolar AS diperdagangkan di angka Rp 14.640, atau rebound dari posisi kemarin yang diperdagangkan pada angka Rp 14.610.
Sejak pembukaan perdagangan hingga pukul 10.00, nilai tukar dolar AS bergerak di kisaran Rp 14.617-14.650.
Hal ini berbanding terbalik dengan pergerakan di bursa saham yang dibuka negatif. IHSG bahkan diperkirakan bergerak melemah dengan pergerakan di kisaran 5,968-6,065.
Adapun pergerakan rupiah diperkirakan banyak dipengaruhi kondisi eksternal, khususnya AS. Meski ada dilema antara The Fed dan Presiden Donald Trump, namun keinginan Gubernur Jerome Powell yang berkeras menaikkan suku bunga membuat ketidakpastian global kian tinggi.
Keperkasaan dolar AS akhirnya menembus level tertingginya dalam kurun tiga tahun terakhir sejak Oktober 2015. Dikutip detikFinance dari perdagangan Reuters, Rabu (29/8/2018), dolar AS pada sore hari diperdagangkan pada level Rp 14.674. Sementara pergerakannya berada di level Rp 14.617 hingga Rp 14.684.
Gubernur BI Perry Warjiyo pada Jumat pekan lalu menjelaskan pergerakan nilai tukar masih terkendali. Secara year to date (ytd) pelemahan yang terjadi pada rupiah tercatat 7%.
"Jika dibandingkan dengan negara lain secara year to date itu 7% masih rendah. Misalnya Filipina peso dan India rupee yang melemah 9%. Afrika Selatan 13,7%, Brasil 18,2%, Argentina dan Turki 40%," kata Perry.
Perry menjelaskan, sebagai bank sentral BI terus berupaya untuk melakukan stabilisasi nilai tukar dengan meningkatkan suku bunga. Ini dilakukan agar aliran modal asing bisa masuk dan memenuhi pasar keuangan di Indonesia.
Dia menyebut, aliran modal asing melalui surat berharga negara (SBN) untuk long term investor sudah mulai masuk. Kemudian eksportir juga sudah menjual dolar dan konversi ke rupiah.
"Kami juga memastikan untuk melakukan intervensi demi menjaga stabilitas. Selain itu kami juga mempermudah swap rate agar kebutuhan valas dalam negeri bisa terpenuhi," jelas dia.
Sementara ekonomi menilai rupiah diprediksi akan berada di level yang lebih mengkhawatirkan jika BI tidak melanjutkan kenaikan bunga acuan sebagai langkah antisipasi penyesuaian. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony A Prasetiantono mengatakan harus ada sentimen positif agar bisa menyelamatkan nilai rupiah dari pelemahan.
"Misalnya kinerja ekspor yang positif (surplus), cadev naik, capital inflow membaik," kata Tony.
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS membawa berkah bagi PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Penjualan emas Antam meningkat di pasar domestik.
Direktur Utama Antam Arie Prabowo Ariotedjo mengatakan, biasanya penjualan emas Antam antara ekspor dan di domestik relatif seimbang. Namun tahun ini pihaknya melihat peningkatan yang drastis di pasar domestik.
"Permintaan dalam negeri meningkat mungkin imbas dari pelemahan Rupiah juga," ujarnya di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (29/8).
Fluktuasi nilai tukar juga membawa berkah dari total penjualan emas Antam. Bahkan dalam periode Januari-Juni 2018 penjualan emas Antam sudah mencapai 13,8 ton.
Dari angka itu, sekitar 9 ton merupakan penjualan emas di pasar domestik. Sementara penjualan ekspor hanya sekitar 4 ton lebih.
Manajemen cukup bersyukur dengan catatan tersebut. Sebab kata Arie penjualan emas di pasar domestik jauh lebih menguntungkan.
"Karena untuk penjualan dalam negeri betul-betul kita manufaktur, dari emas batangan kita potong-potong sampai 10 gram. Sementara ekspor demand-nya emas batangan 1 kg. Jadi value added yang dipotong-potong memberikan keuntungan lebih besar," tambahnya.
Perseroan juga yakin penjualan dari produk emas tahun ini akan meningkat drastris. Sebab total penjulan emas di semester I-2018 itu sudah melebihi capaian penjualan emas Antam secara keseluruhan di 2017 sebesar 13,2 ton.
"Oleh karena itu Antam yakin penjualan emas tahun ini mencapai 24-25 ton," kata Corporate Secretary Antam Aprilandi H. Setia.
Aprilandi menambahkan, perbedaan margin penjualan emas di domestik dan ekspor bisa mencapai 2-3%. Oleh karena itu perusahaan tetap akan menggenjot penjualan emas di pasar domestik.
"Kalau kami lihat sekarang orang masih ingin emas. Demand lokal besar pada saat rupiah melemah. Orang pilih emas karena lebih stabil. Untuk saat ini kalau cari keuntungan ya memang cari dolar tapi emas itu lebih long term," tambahnya.
Rupiah terus mengalami penekanan dari dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini. Nilai tukar mata uang negeri Paman Sam tersebut terus meningkat sejak akhir Januari 2018.
Meski Bank Indonesia menganggap tingkat depresiasi rupiah masih aman, namun sentimen kenaikan suku bunga AS masih belum dapat ditandingi rupiah. Dolar AS kian perkasa hingga saat ini.
Manuver tertinggi dolar AS sendiri di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terjadi pada bulan Oktober 2015. Nilai tukar dolar AS mencapai level Rp 14.700 saat itu. Sementara saat Jokowi dilantik sebagai Presiden, dolar AS berada di 12.030.
Namun seiring dengan beberapa kejadian penting pada tatanan global, termasuk terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS hingga bergantinya ketua The Fed ke Jerrome Powell menambah ketidakpastian global. Hal tersebut berpengaruh ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pada awal tahun ini, rupiah sempat menguat ke level Rp 13.275, tepatnya pada bulan Januari 2018. Bank Indonesia (BI) mencatat Nilai tukar rupiah bergerak menguat 1,36% pada Januari 2018 setelah sempat mengalami tekanan pada triwulan IV 2017.
Dolar AS baru bergejolak setelahnya, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global khususnya terkait dengan ekspektasi kenaikan FFR yang lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini memberikan tekanan pada mata uang global, termasuk rupiah.
Dolar AS tercatat bergerak di level Rp 13.275 hingga 14.684 sepanjang tahun ini (year to date). Dolar AS mulai menyentuh level Rp 14.000 pada bulan Mei. Setelah itu dolar AS terus bergerak menguat signifikan, meski sempat menjinak kembali ke angka Rp 13.800-an pada pertengahan Juni 2018.
Menjinaknya dolar AS saat itu setelah Bank Indonesia (BI) gencar melakukan pengetatan suku bunga, dengan menaikkan bunga acuan hingga tiga kali berturut-turut sejak Mei 2018.
Pelemahan rupiah diyakini dominan dipengaruhi oleh faktor eksternal lewat sentimen global. Pidato Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell yang ingin menaikkan suku bunga the Fed tahun ini hingga empat kali memaksa rupiah keok.
Pelaku pasar juga menyikapi berbagai pidato dari pejabat The Fed yang sejauh ini memberikan, pernyataan hawkish. Jerome Powell optimis terhadap perekonomian AS serta tingkat inflasi yang masih dapat meningkat. Adapun pasar berspekulasi kenaikan suku bunga The Fed akan mencapai empat kali dalam tahun ini.
Halaman Selanjutnya
Halaman