Dolar AS Mulai Jinak, Tetap Waspada

Dolar AS Mulai Jinak, Tetap Waspada

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 07 Sep 2018 07:45 WIB
Dolar AS Mulai Jinak, Tetap Waspada
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Kamis kemarin tekanan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah mulai mereda. Terlihat dari perdagangan spot dan Reuters dolar AS meninggalkan level Rp 14.900-an.

Memang berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang garuda ini.

Mulai dari intervensi ganda yang dilakukan BI hingga kebijakan pemerintah yang membatasi impor beberapa jumlah jenis barang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun Presiden Joko Widodo diminta tetap waspada meskipun Rupiah mulai menguat. Ini karena masih ada bayang-bayang sentimen global yang akan mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.

Berikut ulasannya:
Menanggapi hal tersebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI Muhammad Misbakhun menjelaskan mulai kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah hasil dari langkah yang sudah dilakukan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah.

"Hasilnya ya kan kita lihat kemarin BI sudah melakukan intervensi ganda mulai di pasar valas sampai beli surat berharga negara (SBN)," kata Misbakhun usai acara sosialisasi LPAS di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Kamis (6/9/2018).

Dia menjelaskan, dengan langkah-langkah tersebut akan menimbulkan kepercayaan di pasar keuangan. Namun, pemerintah dan BI juga masih harus waspada meskipun dolar AS sudah mulai menjinak.

"Masih harus waspada, kan sentimen yang terjadi tak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri yang memang tak bisa dikontrol oleh pemerintah," ujar dia.


Menurut dia, dari dalam negeri masyarakat juga bisa membantu meredam dolar AS. Misalnya tidak membeli barang-barang impor.

"Keinginan jalan-jalan ke luar negeri ditahan dulu, liburannya domestik saja, karena tidak usah beli dolar AS kan," jelas dia.

Kian menguatnya dolar AS diyakini dipengaruhi oleh faktor eksternal, di antaranya krisis di Turki dan Argentina, kenaikan suku bunga acuan AS hingga perang dagang AS dan China. Bank Indonesia (BI) sejauh ini telah mengintervensi AS di pasar SBN hingga Rp 11,9 triliun.


Menurut Direktur for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat salah satu faktor penguatan rupiah adalah keputusan pemerintah menaikkan pajak impor terhadap 1.147 komoditas. Selama ini yang membuat investor asing menarik diri memang melebarnya defisit transaksi berjalan.

"Jadi pemerintah harus memberikan sinyal perbaikan," tuturnya di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Budi menilai, penguatan rupiah bisa saja berlanjut dan kembali ke level Rp 14.500 di akhir tahun. Namun ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah yakni menurunkan defisit transaksi berjalan.

Pada 2017 defisit transaksi berjalan sebesar US$ 17,53 miliar atau 1,73% dari PDB. Sementara pada semester I-2018 defisit transaksi berjalan juga sudah mencapai US$ 13,7 miliar, hingga akhir tahun diperkirakan mencapai US$ 25 miliar.

Menurut Budi, dolar AS bisa mencapai Rp 14.500, jika defisit transaksi berjalan itu turun 40% dari tahun lalu.

"Menurut modal kita kalau misalnya pemerimtah bisa ngerem CAD 40% itu mungkin bisa balik lagi ke Rp 14.500. Penguatan dolar AS tidak bisa kita lawan, itu eksternal. Tapi masalah kita itu current account deficit (CAD) itu kombinasinya di ekspor dan bagaimana menekan impor," tambahnya.

Meski begitu, Budi yakin Sri Mulyani Cs bisa menyelesaikan pekerjaan rumah itu. Buktinya sudah ada upaya dengan menaikkan pajak impor terhadap 1.147 komoditas.

Selain itu, dari sisi masyarakat, harus ada edukasi untuk mau berinvestasi di pasar uang, seperti surat berharga negara. Dengan begitu tekanan terhadap keluarnya dana asing bisa terbendung.


Direktur for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menilai salah satu penyebab lemahnya rupiah juga dari perilaku konsumtif masyarakat Indonesia. Terbukti dari banyaknya barang impor masuk ke Indonesia yang bersifat konsumtif.

"Sekarang ini gara-gara kelakuan konsumtif kita juga dan kurang produktif kita," tuturnya di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Perilaku yang konsumtif dengan membeli produk-produk impor turut membuat defisit transaksi berjalan Indonesia terus membesar. Pada kuartal II-2018 defisit transaksi berjalan RI sudah mencapai 3,04% terhadap PDB.

Impor juga turut membuat permintaan akan dolar Amerika Serikat (AS) membesar. Sehingga mendorong rupiah semakin melemah.

Selain itu, menurut Budi gaya hidup generasi milenial juga ikut berperan menekan rupiah. Saat ini kecenderungan generasi milenial hidup mementingkan liburan ke luar negeri ketimbang investasi.

"Coba tanya saja anak milenial, mereka lebih banyak plesiran ke luar negeri dan pakai gadget impor dari luar. Jadi harus perbaiki diri juga," tambahnya.

Meski begitu, Budi menegaskan, kondisi pelemahan rupiah saat ini tidak bisa disamakan dengan kondisi saat krisis moneter di 1998 ataupun 2008. Menurutnya pelemahan ini baru sebatas teguran agar masyarakat Indonesia dan pemerintah berbenah diri.

"Ini bukan mengarah ke krisis yang akan fatal, ini teguran agar kita bangun untuk memperbaiki diri," tegasnya.

Menanggapi penguatan rupiah ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan tetap waspada. Sebab, saat ini masih penuh dengan ketidakpastian.

"Kan ini sesuatu yang terus kita hadapi ketidakpastian ini, kita tetap berjaga-jaga," ujarnya di JCC Senayan Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Meski demikian, Sri Mulyani tak banyak berkomentar lebih jauh mengenai penguatan rupiah ini.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan hari ini terjadi penguatan rupiah. Penyebab redanya tekanan rupiah ini terjadi sejak awal perdagangan karena terjadi pelemahan nilai tukar dolar AS terhadap sebagian besar mata uang negara maju.

"Dolar AS melemah terhadap sebagian besar mata uang negara maju seperti Poundsterling dan Euro yang menguat setelah pembicaraan antara pemerintah Jerman dan Inggris yang mendukung soft Brexit," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Kamis (6/9/2018).

Dia menjelaskan, dolar AS juga melemah terhadap yen Jepang dan franc Swiss setelah data neraca perdagangan AS pada bulan Juli yang tercatat US$ 50,1 miliar melebar dari bulan sebelumnya yang tercatat defisit US$ 45,7 miliar.

Josua menjelaskan rilis data neraca perdagangan tersebut meningkatkan fokus pelaku pasar global di mana pemerintah AS berpotensi kuat untuk mengenakan tarif impor sebesar US$ 200 miliar produk dari China.

Dari domestik, tren penjualan dolar AS juga meningkat yang dilakukan oleh korporasi khususnya para eksportir.

"Selain itu, sentimen juga membaik setelah kemarin pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembatasan impor barang konsumsi yang diharapkan dapat menekan pelebaran defisit transaksi berjalan dalam jangka pendek ini," terangnya.


Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah menjelaskan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter secara penuh mendukung langkah yang ditempuh pemerintah dalam mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan.

"Sementara dalam dinamika harian, Bank Indonesia akan tetap konsisten dan sekuat tenaga untuk melindungi rupiah dari pelemahan yang cepat dan tajam, serta akan terus memastikan pergerakan likuiditas dan efisiensi di pasar valuta asing Indonesia tetap terjaga," kata Nanang di Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Dia menjelaskan mulai menguatnya rupiah tak lepas dari langkah BI yang terus melakukan intervensi di pasar valas dan pasar obligasi.

"Di pasar sekunder SBN, dalam 5 hari terakhir BI membeli Rp 10.68 Triliun. Sehingga secara Year to date 2018 pembelian SBN oleh BI di pasar sekunder Rp31,37 triliun. Kemudian untuk pembelian BI di pasar perdana Rp58,38 Triliun," kata Nanang.

Dengan demikian total pembelian SBN oleh BI tahun ini sebesar Rp89,75 triliun.

Dia menjelaskan, di tengah tekanan yang masih berat akibat sentimen negatif dari sengketa dagang AS dan China. Ini juga disertai dengan pelemahan mata uang Yuan dan beberapa mata uang Asia lain.

"Rupiah hari ini menguat, Bank Indonesia terus konsisten berada di pasar untuk memastikan fluktuasi kurs Rupiah dapat diminimalkan," jelas dia.

Hide Ads