Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasentiantono menjelaskan saat ini pasar keuangan merasa suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate belum cukup atraktif.
"Pasar merasa bunga acuan tak cukup atraktif untuk menjadi insentif bagi investor untuk 'memegang' rupiah," kata Tony saat dihubungi detikFinance, Selasa (2/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 200 basis poin atau 2%, sedangkan BI baru 150 bps dari 4,25% sampai 5,75%. Berarti memang perlu suku bunga yang lebih atraktif lagi," ujarnya.
Baca juga: Dolar AS Rp 15.000, Darmin: Kita Cerna Dulu |
Tony juga menjelaskan, kenaikan harga minyak global turut memberi sentimen negatif bagi kondisi fiskal Indonesia. Saat ini harga minyak Brent sudah mencapai US$ 85 per barel, jauh melebihi asumsi harga minyak di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sebesar US$ per barel.
Sekedar informasi sejak Mei 2018 BI memang berupaya untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah dengan cara melakukan intervensi ganda. Di pasar valas dan pasar obligasi.
Selain itu BI juga menaikkan bunga acuan sebanyak 150 basis poin dalam rentang waktu Mei 2018 hingga September 2018. Kenaikan bunga diharapkan bisa membuat rupiah semakin menarik.
Tonton juga 'Kenaikan Suku Bunga The Fed Sudah Diantisipasi Pemerintah':
(kil/ang)