Soroti Rupiah Keok Lawan Dolar AS, Sandi: Kita Terlena Impor

4 Tahun Jokowi-JK

Soroti Rupiah Keok Lawan Dolar AS, Sandi: Kita Terlena Impor

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Sabtu, 20 Okt 2018 20:50 WIB
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikcom
Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap rupiah dalam 4 tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sejumlah kalangan menyebut kondisi ini dipicu kebijakan Amerika Serikat (AS), perang dagang, kenaikan bunga The Federal Reserve (Bank Sentral AS)

Menanggapi hal tersebut calon Wakil Presiden Sandiaga Uno mengatakan memang ada faktor eksternal yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Cuma, di sisi lain, dia menilai pemerintah terlalu terlena dengan impor.


"Saya bilang memang ada faktor eksternal tapi juga ada internal Karena kita tidak melakukan reformasi struktural, kita tidak perkuat ekonomi kita dengan industri manufacturing berbasis ekspor tapi kita terlena dengan impor," kata pria yang beken disapa Sandi itu usai acara Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) di Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu (20/10/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sandi juga menilai pemerintah saat ini boros karena tak mengusahakan sumber produksi nasional, sehingga mendorong penggunaan anggaran yang besar. Menurut dia hal ini harus diubah secara signifikan. Misalnya dengan meningkatkan industri manufaktur dan padat karya untuk meningkatkan investasi yang berorientasi ekspor.


Kemudian membangun industri untuk substitusi impor dan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya . "Ini dilakukan supaya penghasilan masyarakat bisa meningkat," jelas Sandi.

Sandi menambahkan, di tahun politik ini semua kubu jangan saling menjatuhkan. Namun harus melakukan refleksi diri ke depan agar ekonomi lebih baik dan bisa menciptakan nilai tukar rupiah yang lebih kuat.


Dari sisi perpajakan, Sandi menilai pemerintahan Jokowi saat ini kurang optimal pasalnya jumlah pembayar pajak stagnan alias tak tumbuh, sementara tarif pajaknya tinggi.

"Kita mau jumlah pembayar pajaknya besar, tapi hal spesifik itu tidak dijalankan," jelas Sandi. (kil/hns)

Hide Ads