Kepala Riset dan Pengembangan BEI Verdi Ikhwan menjelaskan IDX80 dibuat sebagai indeks yang mengukur performa harga dari 80 saham yang memiliki likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik
Perbedaan IDX80 dengan indeks acuan BEI lainnya adalah adanya batasan bobot atau capped 9%. Itu artinya satu saham dalam IDX80 bobotnya tidak akan melebihi batas tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk perhitungan bobot 1 saham di IDX80 dihitung dari nilai kapitalisasi saham dikali rasio freefloat dibagi base market cap hasilnya dikali 100. Dengan begitu, saham yang rasio freefloatnya kecil, maka perhitungan untuk bobotnya akan semakin kecil juga.
Sementara jika nantinya ada 1 saham yang bobotnya melebihi 9% dalam IDX80, akan dikembalikan menjadi 9%, sisanya akan dibagikan secara merata ke 79 saham lainnya.
Diharapkan IDX80 tersebut bisa menjadi pilihan benchmark bagi manajer investasi untuk membuat produk reksadana, baik itu secara aktif maupun pasif.
"Kita ingin buat indeks dipakai juga bukan cuma jadi acuan, entah untuk ETF atau produk reksadana saham. Karena dari Rp 500 triliun AUM MI itu sekitar Rp 150 triliun reksadana saham. Selama ini mereka pakai IHSG, tapi mereka tidak happy, mereka ingin ada indeks dengan jumlah saham tidak banyak tapi mewakili pasar," ujarnya.
IDX ini akan dievaluasi 4 kali dalam satu tahun. Evaluasi mayor akan dilakukan pada Februari dan Agustus untuk menentukan keluar masuknya saham dalam indeks. Sementara evaluasi minor pada April dan November.
Indeks yang mulai efektif pada 1 Februari 2019 itu juga akan menjadi acuan untuk menentukan indeks 45 saham dengan likuiditas tertinggi atau LQ45.