Manajemen Garuda Indonesia disebut-sebut mempercantik laporan keuangannya di 2018. Hal itu justru akan berbahaya bagi perusahaan nantinya.
Laporan keuangan GIAA janggal karena laba yang diperoleh pada tahun 2018 cukup signifikan. Menurut laporan keuangan GIAA 2018, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Padahal di kuartal III-2018 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau atau Rp 1,66 triliun jika dikalikan kurs saat itu sekitar Rp 14.600.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GIAA yang digelar pada 24 Januari 2019, manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang diantaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal, uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut saya ini kira-kira yang dilakukan oleh Manajemen Garuda itu semacam window dressing, yaitu memperbaiki laporan keuangan drngan beberbagai cara antara lain memaksimalkan pencatatan penghasilan walaupun masih piutang," tuturnya kepada detikFinance, Senin (29/4/2019).
Memang, lanjut Hekal, hal itu dimungkinkan untuk dilakukan secara prosedur penyampaian laporan keuangan berbasis akrual. Namun, ibarat wajah, cara itu hanya untuk mempercantik dengan make up. Jika gagal atau make up hilang, wajah aslinya akan terlihat.
"Bisa dikatakan begitu. Dan biasanya ini agak berisiko buat tahun berikutnya karena pas uangnya beneran masuk di tahun berikutnya, sudah tidak boleh dihitung dobel," tuturnya.