Prediksi Bursa Saham soal Pilpres AS, Trump atau Biden yang Menang?

Prediksi Bursa Saham soal Pilpres AS, Trump atau Biden yang Menang?

Soraya Novika - detikFinance
Rabu, 04 Nov 2020 08:27 WIB
Debat Capres Amerika Serikat
Joe Biden dan Donald Trump/Foto: associated press
Jakarta -

Pemilihan presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) berlangsung 3 November. Kini, tinggal menunggu hasil perhitungan suara dari seluruh negara bagian dan suara dewan elektoral AS.

Namun, sebelum pilpres AS terselenggara sebenarnya sudah kelihatan siapa calon pemimpin Negeri Paman Sam di masa pemerintahan mendatang. Prediksi kemenangan kandidat presiden AS itu biasanya bisa dilihat dari pergerakan pasar saham beberapa hari sebelum pilpres.

Indeks S&P 500 turun 0,04% antara 31 Juli dan 31 Oktober lalu. Hal itu secara tidak langsung meramal bahwa kemenangan bakal diraih Joe Biden. Pasar saham memang memiliki rekam jejak yang cukup andal. Sejak Perang Dunia II, ketika S&P 500 jatuh dalam tiga bulan berturut-turut menjelang pemungutan suara November, presiden petahana atau partai dari presiden yang memimpin saat itu dipastikan kalah dalam pemilihan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Demikian pula, ketika S&P 500 naik, petahana atau partai dari presiden yang memimpin saat itu justru memenangkan pemilihan.

"Predictor ditutup sedikit di posisi merah selama tiga bulan ini, menyiratkan, tetapi tidak menjamin bahwa Biden akan muncul sebagai pemenang," kata Kepala Strategi Investasi CFRA Sam Stoval dikutip dari CNN, Rabu (4/11/2020).

Analis Goldman Sachs juga memprediksi hal serupa. Goldman Sachs meyakini Partai Demokrat (partainya Biden) akan merebut Gedung Putih dan Senat serta mempertahankan kendali Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS. Bila prediksi ini terwujud, diyakini juga bakal membawa dampak positif buat pasar AS.

ADVERTISEMENT

Kemenangan Partai Demokrat akan meningkatkan kemungkinan cairnya paket stimulus fiskal sedikitnya US$ 2 triliun segera setelah pelantikan 20 Januari 2021 mendatang.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Goldman Sachs juga mengutip rencana pengeluaran jangka panjang Biden untuk infrastruktur, iklim, kesehatan, dan pendidikan.

"Secara keseluruhan, pengeluaran ini setidaknya akan menyamai kemungkinan kenaikan pajak jangka panjang pada perusahaan dan pendapatan berpenghasilan tinggi," tulis Goldman Sachs.

Demikian pula, JPMorgan juga punya pandangan serupa.

"Pandangan konsensus adalah bahwa kemenangan Demokrat di bulan November akan menjadi negatif untuk ekuitas. Namun, kami melihatnya bisa membawa dampak yang netral hingga sedikit positif," ujar Ahli Strategi JPMorgan Dubravko Lakos-Bujas.

Sedangkan, Donald Trump berulang kali menilai Partai Demokrat justru akan menghancurkan ekonomi AS, dan pasar saham akan runtuh jika mereka menang pada pemilihan November ini.

"Tetapi Moody's Analytics menemukan bahwa proposal ekonomi Biden jika diberlakukan akan menciptakan 7,4 juta lebih banyak pekerjaan daripada Trump. Ekonomi akan kembali ke lapangan kerja penuh pada paruh kedua 2022 mendatang, hampir dua tahun lebih awal daripada di bawah rencana Trump," kata Moody's.

Sebuah survei terhadap CEO yang dilakukan oleh Yale School of Management pada akhir September menemukan bahwa 77% peserta akan memilih Biden. Lebih dari 60% memperkirakan dia menang.

Namun survei UBS terhadap 500 pemilik bisnis dan 1.000 investor yang dilakukan pada pertengahan Oktober menemukan bahwa 55% pemilik bisnis ingin Trump yang menang, sementara 51% investor mendukung Biden.


Hide Ads