Seberapa Layak Membandingkan Kinerja Tesla dan Astra?

Seberapa Layak Membandingkan Kinerja Tesla dan Astra?

Tim detikcom - detikFinance
Selasa, 16 Mar 2021 10:33 WIB
CORTE MADERA, CA - AUGUST 02:  The Tesla logo appears on a brand new Tesla Model S on August 2, 2017 in Corte Madera, California. Tesla will report second-quarter earnings today after the closing bell.  (Photo by Justin Sullivan/Getty Images)
Foto: Dok
Jakarta -

Tesla, pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat (AS) sahamnya terus meroket di tahun 2020. Bahkan nilai kapitalisasi pasar Tesla sempat naik hingga 700%, hal ini membuat sang CEO Elon Musk sempat menggeser Jeff Bezos dari daftar orang terkaya dunia.

Kenaikan harga saham yang gila-gilaan membuat Tesla menjadi perusahaan mobil dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia.

Dilansir CNBC Indonesia, Selasa (16/3/2021), terhitung market cap Tesla mencapai US$ 666 miliar atau setara Rp 9.597 triliun. Tesla berhasil mengungguli kapitalisasi produsen otomotif dunia yang selama ini menjadi penguasa pasar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tesla berhasil menyalip Toyota, Volkswagen, Daimler, General Motor hingga Ford. Apalagi jika dibandingkan dengan PT Astra Internasional Tbk (ASII), salah satu perusahaan lokal yang juga bergerak di industri otomotif, yang kapitalisasi pasarnya 'hanya' Rp 223 triliun atau sekitar US$ 15 miliar.

Prospek mobil listrik yang cerah dinilai menjadikan harga saham Tesla melejit, meskipun secara bottom line masih belum sebanding dengan kenaikan harga sahamnya. Bila dihitung menggunakan valuasi umum berupa Price to Earning Rasio (PER) saham Tesla sudah tergolong kemahalan jika dibandingkan dengan produsen lainnya.

ADVERTISEMENT

Nah kalau bicara laba perusahaan, meski market cap Tesla cukup besar, nyatanya mereka hanya mencetak US$ 721 juta atau sekitar Rp 10,38 triliun. Itu pun laba untuk pertama kali sejak 2016.

Jika dibandingkan dengan pabrik mobil lain jelas, keuntungan Tesla tidak ada apa-apanya. Keuntungan Toyota saja sudah mencapai US$ 19,04 miliar atau 26,4 kali lebih besar dari laba bersih Tesla. Inilah yang membuat banyak orang menilai saham Tesla sedang bubble.

Kendati nilai kapitalisasi pasarnya terbilang sudah tak rasional, dari segi bisnis Tesla justru mencatatkan perbaikan kinerja keuangan. Berdasarkan informasi keuangan yang disampaikan oleh perusahaan, Tesla berhasil membukukan kenaikan pendapatan automotif sebesar 31% (yoy) menjadi 27,36 miliar. Tahun lalu.

Kenaikan tersebut diakibatkan oleh banyaknya pengiriman kendaraan mobil listrik yang diproduksi. Pertumbuhan volume penjualan yang signifikan mampu mengimbangi penurunan harga jual rata-rata Tesla seiring dengan pergeseran portofolio produk dari model S dan X menjadi model 3 dan Y yang lebih terjangkau.

Tesla berhasil mengirimkan lebih dari 180 ribu unit mobil listrik pada kuartal keempat tahun 2020. Volume pengirimannya naik 61% (yoy). Kenaikan volume pengiriman ini ditopang oleh penjualan model 3 dan Y yang menyumbang hampir 90% dari total pengiriman. Volume pengiriman model 3 dan Y melesat 75% (yoy) pada kuartal terakhir tahun lalu.

Dilihat dari sisi likuiditas, Tesla merupakan salah satu perusahaan mobil listrik yang tergolong cash rich. Pada akhir 2020, posisi net kas yang digunakan untuk aktivitas operasi sebesar US$ 5,9 miliar. Untuk belanja modal dialokasikan sebesar US$ 3,16 miliar.

Sementara arus kas bebasnya tercatat mencapai US$ 2,79 miliar. Ini kali kedua Tesla memiliki free cash flow yang positif. Posisi kas dan setara kas Tesla akhir tahun lalu pun terbilang gendut karena mencapai US$ 19,4 miliar.

Kinerja apik Tesla, juga menuai komentar dari Lo Kheng Hong (LKH), investor kawakan tanah air. Dalam sebuah kesempatan, LKH membandingkan laba perusahaan nasional dengan Tesla. LKH mencontohkan laba bersih PT Astra Internasional Tbk (ASII) yang mencapai US$ 1,29 miliar atau sekitar Rp 16,16 triliun.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Simak juga 'Mobil Tesla Elon Musk Sudah Mendekati Mars':

[Gambas:Video 20detik]



Laba bersih Astra disebut lebih besar. Bahkan, 60% lebih besar dari Tesla, di saat nilai kapitalisasi pasarnya hanya 2,4% dari Tesla. Atas dasar tersebut LKH mempertanyakan sikap investor yang mengagung-agungkan Tesla.

Ada beberapa poin yang perlu digarisbawahi dari pendapat LKH. Pertama, walau sektor pendapatan ASII dari lini bisnis otomotif mencapai 38% dari total pendapatan tahun 2020 dan menjadi yang terbesar, Astra dengan Tesla tidaklah bisa dibandingkan karena model bisnisnya saja berbeda.

ASII adalah holding company dengan bisnis yang menggurita di berbagai sektor, sementara Tesla cuma fokus pada mobil listrik dan ekosistem penunjangnya.

Kedua, laba bersih ASII tercatat hanya Rp 16,16 triliun tahun lalu. Itu pun setelah keuntungan dari divestasi aset berupa kepemilikan di PT Bank Permata Tbk (BNLI) diikutsertakan.

Apabila keuntungan dari divestasi tersebut tidak diikutsertakan maka laba bersih Astra sebetulnya hanya Rp 10,28 triliun. Dengan begini sama saja sebenarnya laba bersih ASII dan Tesla, bahkan tercatat Tesla unggul tipis dengan perolehan Rp 10,38 triliun.

Itupun adalah laba bersih konsolidasian, maksudnya laba dari seluruh gurita bisnis Astra. ASII tidak hanya berbisnis di sektor otomotif saja lho. Mereka juga menggeluti di sektor jasa keuangan, alat berat, pertambangan, konstruksi, energi, agribisnis, hingga properti.

Maka dari itu, perlu dilihat dulu keuntungan yang disumbang oleh segmen otomotif terhadap laba bersih ASII berapa banyak? Ternyata kontribusi laba bersih dari segmen otomotif terhadap laba konsolidasian ASII hanya 26%.

Bila dihitung labanya hanya Rp 2,68 triliun saja dari sektor otomotif, sedangkan laba Tesla 4 kali lebih jumbo daripada laba Astra di sektor otomotif.

Selanjutnya, faktor pertumbuhan pesat perusahaan juga tentu saja tidak bisa diabaikan karena apa yang menentukan keputusan investasi di suatu saham bukan hanya laba saat ini akan tetapi potensi perusahaan tersebut dalam meraup laba di tahun-tahun mendatang alias seberapa besar pertumbuhan perusahaan.

Apabila memasukkan faktor pertumbuhan pendapatan di sektor otomotif, ASII jelas kalah jauh dibandingkan TSLA. Tercatat selama 4 tahun terakhir sektor otomotif ASII, rata-rata omsetnya terkontraksi alias tumbuh negatif sebesar 6,43%.

Memang kontraksi paling besar dibukukan pada tahun 2020 di tengah pandemi. Pendapatan Astra pun di sektor otomotif anjlok 36,25% dibandingkan dengan 2019.

Bila dilihat lagi, pertumbuhan pendapatan ASII di sektor otomotif sebelum pandemi juga sebenarnya biasa-biasa saja. Bahkan sebelum pandemi menyerang, pendapatan ASII di sektor otomotif sudah terkontraksi 0,85% di tahun 2019.

Sekarang coba bandingkan dengan pertumbuhan pendapatan Tesla di sektor otomotif selama 4 tahun terakhir yang rata-rata sebesar 46,71%. Bahkan di tahun pandemi saja Tesla masih mampu membukukan pertumbuhan pendapatan mencapai 30,81%.

Tentu saja apabila pertumbuhan ini sustainable tidak perlu waktu lama sebelum akhirnya Tesla merajai sektor otomotif global baik di pasar modal maupun di sektor riil.


Hide Ads