Keuangan BUMN Karya Berdarah-darah, Apa Bahayanya?

Keuangan BUMN Karya Berdarah-darah, Apa Bahayanya?

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 05 Apr 2021 07:48 WIB
Sejumlah tamu beraktivitas di dekat logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). Kementerian BUMN meluncurkan logo baru pada Rabu (1/7) yang menjadi simbolisasi dari visi dan misi kementerian maupun seluruh BUMN dalam menatap era kekinian yang penuh tantangan sekaligus kesempatan. ANATAR FOTO/Aprillio Akbar/nz
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Menurut Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira penyebab keuangan BUMN karya semakin terpuruk adalah penugasan proyek pemerintah dan asumsi awal yang tidak sesuai.

"Penugasan itu sangat berat apalagi salah asumsi karena selalu pada saat uji kelayakan modelnya optimistis. Ekonomi tumbuh 7-8% kemudian akan terjadi kenaikan permintaan industri dan daya beli masyarakat," tuturnya kepada detikcom, Minggu (4/4/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, lanjut Bhima, sebelum pandemi saja inflasi rendah karena permintaan tertekan. Lalu ekonomi hanya tumbuh 5% tidak sesuai proyeksi awal, sehingga tol yang dibangun memiliki utilisasi yang rendah karena aktivitas logistik yang juga rendah.

Sementara menurut Dahlan penyebab merosotnya kinerja keuangan BUMN karya tidak lain karena pekerjaan infrastruktur yang begitu besar beberapa tahun terakhir.

ADVERTISEMENT

"Sebagian BUMN infrastruktur ngeri dengan besarnya modal yang harus disiapkan. Mereka memilih jadi kontraktor saja. Tapi ada BUMN yang ambisius sekali, memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari kata mereka," tulis Dahlan dalam laman pribadinya Disway.

Sekuat-kuatnya perusahaan bahkan BUMN sekalipun, tentu membutuhkan sumber dana dari pihak ketiga untuk membangun infrastruktur. Sementara bank yang juga menjadi sumber pendanaan ada batasan peraturan dalam pemberian kredit kepada satu grup perusahaan.

Ketika perusahaan sudah tidak bisa pinjam ke bank, maka perusahaan bergantung pada penerbitan surat utang seperti obligasi. Namun tentu investor cermat melihat perusahaan yang menerbitkan obligasi yang memang masih memiliki kemampuan pinjam ke bank ataupun yang sudah kepepet, sehingga pemilik dana obligasi bisa menetapkan bunga yang tinggi.

Sementara obligasi ini memiliki masa waktu jatuh tempo. Jika perusahaan tak mampu membayar, maka pilihan lainnya adalah kembali menerbitkan obligasi baru.

"Perkiraan saya, merosotnya kinerja keuangan mereka sebagian besar akibat kemakan bunga tinggi," kata Dahlan.

Lalu apa bahayanya jika kondisi ini berkepanjangan? Baca di halaman berikutnya


Hide Ads