Konsolidasi Operator Selular Bisa Genjot Digitalisasi, tapi ...

Konsolidasi Operator Selular Bisa Genjot Digitalisasi, tapi ...

Tim detikcom - detikFinance
Selasa, 26 Okt 2021 12:08 WIB
Closeup of thoughtful young Asian woman holding mobile phone and surfing Internet. Attractive student taking selfie at cafe. Communication and work balance concept
Foto: iStock
Jakarta -

Pemerintah harus menjaga fairness dalam industri telekomunikasi Indonesia seiring dengan konsolidasi industri yang terjadi saat ini. Salah satunya dengan melakukan penataan kembali atau reframing frekuensi yang ada saat ini.

Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Sarwoto Atmosutarno mengungkapkan bahwa konsolidasi industri merupakan hal yang tak terhindarkan. Hal ini karena jumlah pemain yang ada di industri telekomunikasi Indonesia masih terlalu banyak.

Di sisi lain, frekuensi menjadi hal mutlak yang perlu dimiliki oleh para operator untuk bisa memberikan layanan bagi pelanggannya. Apalagi dengan tren digital saat ini, keberadaan frekuensi sangat penting guna mendukung bisnis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di sinilah peran pemerintah untuk bisa mengalokasikan frekuensi secara baik diperlukan untuk menjaga kondisi persaingan usaha di sektor ini bisa terlaksana dengan baik," ujar Sarwoto di Jakarta, Senin (26/10/2021).

Saat ini Telkomsel merupakan pemegang spektrum frekuensi terbesar di Indonesia sebesar 155 MHz dengan jumlah pelanggan mencapai 190 juta.
Merger antara dua operator Indosat dan Tri Hutchison akan membuat duo operator ini menguasai spektrum 145 MHz dengan jumlah pelanggan sekitar 104 juta.

ADVERTISEMENT

Menjadi pertanyaan, apakah penguasaan spektrum sebesar itu dengan jumlah pelanggan yang relatif sedikit itu tepat untuk operator baru hasil merger.

"Idealnya pemerintah menghitung ulang frekuensi yang dimiliki operator hasil merger itu. Dialokasikan sesuai dengan kebutuhan ekspansi bisnisnya. Bila ternyata nanti memang berkembang dan butuh frekuensi lebih banyak, bisa saja diberikan. Tapi di awal perlu dipetakan dulu berapa kebutuhannya," ungkap Sarwoto.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa saat ini tren di seluruh dunia sedang terjadi penataan pada spektrum frekuensi. Frekuensi dipandang sebagai sumber daya yang terbatas sehingga pemanfaatannya mutlak perlu diatur secara ketat agar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

"Inilah fairness yang perlu dijaga pemerintah. Agar persaingan dalam industri terjaga dengan baik dan juga masyarakat mendapat hasil yang maksimal," tandasnya.

Chairman Indonesia Telecommunication User Group (IDTUG) Nurul Yakin Setyabudi menilai reframing frekuensi sangat penting.

Merger antara Indosat dan Tri merupakan kesempatan yang bagus bagi Pemerintah untuk melakukan reframing frekuensi sebagai salah satu sumber daya terbatas milik bangsa Indonesia yang harus dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Ia mengatakan bahwa penataan frekuensi dengan menghitung ulang kebutuhan frekuensi dari perusahaan yang merger tidak menyalahi UU Cipta Kerja.

"Di UU Cipta Kerja intinya perusahaan telekomunikasi saat ini boleh melakukan merger atau akuisisi namun frekuensi sebagai aset bangsa harus dievaluasi," ujarnya.

Yang pasti, menurutnya, pemerintah memiliki peran besar menjaga agar terjadi iklim berusaha yang baik di industri melalui serangkaian kebijakan yang dijalankan. Salah satu tugas yang perlu dilakukan adalah memastikan fairnes dalam industri telekomunikasi dengan menata kembali spektrum frekuensi.


Hide Ads