Mata uang Rusia, rubel mengalami tekanan yang luar biasa. Terutama, dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Padahal, usai krisis keuangan global 2008 Presiden Rusia Vladimir Putin telah mempromosikan rubel sebagai alternatif potensial untuk dolar AS. Dengan alasan, rubel harus menjadi bagian dari sistem keuangan global. Rusia mengklaim akan menjadi satu dari lima ekonomi terbesar di dunia.
Dikutip dari CNN, Kamis (10/3/2022), upaya Putin untuk mendominasi tetangganya dimulai dengan serangannya ke Georgia pada 2008, dan berlanjut dengan pencaplokan Krimea pada 2014 dan invasi ke Ukraina bulan lalu.
Pada awal 2008, US$ 1 setara 25 rubel. Mata uang Rusia telah terdepresiasi secara signifikan sejak saat itu, dan sanksi Barat yang diberlakukan sebagai tanggapan atas invasi ke Ukraina telah mendorongnya jatuh bebas.
Pada hari Rabu, US$ 1 setara 117 rubel setelah mata uang tersebut turun 10% dan mencapai rekor terendah baru. Rubel bahkan lebih lemah di pasar luar negeri minggu ini.
Penurunan terakhir terjadi setelah bank sentral Rusia melarang pembelian mata uang keras atau mata uang kuat (safe haven) dan memerintahkan bank untuk membatasi penarikan dari rekening mata uang asing sebesar US$ 10.000 untuk enam bulan ke depan. Langkah itu dianggap dapat membantu cadangan dolar negara itu dan mendukung rubel.
Mantan Menteri Keuangan Rusia dan pejabat bank sentral Sergey Aleksashenko menggambarkan strategi itu sebagai kebodohan yang luar biasa yang menyebabkan kebangkrutan bank.
"Tampaknya, arus keluar deposito mata uang asing dari bank-bank Rusia telah melampaui perkiraan Bank Rusia dan mempertanyakan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban mereka," katanya.
Simak juga video 'Rusia Dapatkan Dokumen Rencana Serangan Militer Ukraina ke Donbass':
Berlanjut ke halaman berikutnya.
(acd/ara)