Ternyata Ini Penyebab Saham Bank Digital Kompak Nyungsep di 2022

ADVERTISEMENT

Ternyata Ini Penyebab Saham Bank Digital Kompak Nyungsep di 2022

Ilyas Fadilah - detikFinance
Rabu, 28 Des 2022 17:25 WIB
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 5% ke level 4.891. Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan saham siang ini.
Ilustrasi saham bank digital (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Harga saham bank digital mengalami penurunan signifikan pada tahun ini. Kondisi pasar yang berubah drastis menjadi faktor utama yang menyebabkan harga saham bank digital turun tajam.

Padahal berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia, pada 2021 saham bank digital mencatat lonjakan signifikan, berkisar 79% hingga 4.368%. Saham PT Allobank Indonesia Tbk menjadi saham bank digital paling cuan pada tahun lalu setelah menutup buku dengan lesatan kenaikan harga hingga 4.368%.

Namun per Desember 2022, mayoritas saham bank digital mencatat rapor merah. Saham-saham bank digital sejak awal tahun kompak mengalami penurunan dengan rincian sebagai berikut.

Saham Bank Jago turun 76% tahun ini, setelah sempat melesat 348% pada 2021. Bank Neo Commerce turun 67,49%, setelah sempat naik 882% tahun 2021. Bank Raya minus 75,58% meski naik 79% di 2021.

Lalu saham Allo Bank turun 54,53%, kemudian Bank Aladin minus 37,99% setelah naik 2.123% di 2021. Kemudian Bank Bumi Arta anjlok 65,43%, padahal di 2021 naik 876%. Dan bank Bisnis yang turun 6,27% setelah naik 438% tahun lalu. Data ini diambil per 19 Desember 2022.

Analis Samuel Sekuritas Farras Farhan menilai penurunan kinerja saham bank digital tahun ini merupakan bagian dari dinamika pasar yang bergerak cepat. Kondisi pasar pada 2020-2021 dan 2022 menurutnya sangat kontras.

Pada 2020 pandemi COVID-19 melanda, laju perekonomian mengalami kontraksi akibat kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Meski dibatasi, kegiatan masih tetap berlangsung berkait teknologi, mulai dari kegiatan pendidikan, perkantoran, hingga belanja dapat difasilitasi dengan teknologi.

"Kita harus flashback untuk memahami mengapa sektor teknologi tahun 2020 hingga 2021 booming. Selain adaptasi teknologi yang kuat selama pandemi, faktor kebijakan stimulus moneter juga berpengaruh terhadap saham-saham teknologi," jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).

Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menjelaskan kebijakan stimulus yang dilakukan banyak negara membuat tingkat suku bunga menjadi rendah. Para pengelola dana kelas kakap (hedge fund) dan investor pada umumnya terpacu untuk mencari instrumen yang memberikan keuntungan lebih besar.

Menurut Tirta, pada masa pandemi, terutama di periode 2020-2021, saham-saham yang terkait dengan Old Economy tidak terlalu diminati karena bisnis emiten-emiten tersebut tengah mengalami tekanan akibat pandemi. Saham-saham New Economy yang belum dilirik pun menjadi incaran sehingga mendorong kenaikan harga yang signifikan.

Namun memasuki tahun 2022 faktor-faktor yang mendukung kenaikan saham-saham bank digital mulai pudar. Stimulus besar-besaran perlahan memang membangkitkan sisi permintaan. Tetapi sisi pasokan tidak mampu mengimbagi tren pemulihan permintaan tersebut sehingga menimbulkan gangguan pada rantai pasok global.

Akibatnya, kenaikan inflasi tidak terhindarkan dan semakin tidak terkendali setelah pada Februari 2022, Rusia melancarkan aksi militer ke Ukraina. Mudah diduga, perang tersebut telah memicu kenaikan harga komoditas energi, mulai dari minyak hingga batu bara.

"Kenaikan inflasi membuat biaya dana semakin mahal dan perusahaan teknologi yang sebelumnya didukung banyak dana murah, mulai ditinggalkan dan investor melakukan rebalancing ke sektor-sektor potensial seperti saham energi yang mendapat windfall dari harga komoditas," jelas Tirta.

Merujuk pada data Bursa Efek Indonesia, kinerja IDXTechno sampai dengan 19 Desember 2022 merupakan yang paling jeblok. IDXTechno telah anjlok -43,12% (year to date) sedangkan indeks IDXEnergy melonjak 88% (year to date).

Wakil Direktur Utama PT Bank Jago Tbk. Arief Harris Tandjung mengatakan kondisi pasar dan faktor sentimen yang mempengaruhinya merupakan hal di luar kontrol perusahaan.

Dia menambahkan, kenaikan harga saham perseroan pada 2020-2021 tidak terlepas dari persepsi investor yang menilai Bank Jago sebagai perusahaan teknologi. Valuasi saham Bank Jago pun kerap dibandingkan dengan perusahaan teknologi di luar negeri yang amat tinggi. Maka, saat kondisi pasar berbalik, valuasi perusahaan teknologi pun mengalami normalisasi.

Menurut Arief, Bank Jago saat ini memiliki permodalan yang solid untuk mendukung ekspansi. Sejak Rights Issue II Maret 2021, modal Bank Jago telah mencapai Rp 8 triliun atau sudah melampaui jumlah modal minimum bank umum sebesar Rp 3 triliun yang harus dipenuhi pada akhir 2022.

Ke depan, Bank Jago akan fokus untuk memperdalam kolaborasi dengan partner dan juga memperluas kerjasama dengan ekosistem untuk mendukung pertumbuhan kinerja berkelanjutan. Sampai dengan September 2022, Bank Jago telah bermitra dengan 38 partner, tersebar dari perusahaan multifinance, fintech, hingga perusahaan sekuritas.

Lihat juga Video: Tutorial Anti FOMO di Pasar Modal

[Gambas:Video 20detik]





(das/das)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT