Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) meluncurkan Patriot Bond atau obligasi patriot. Para ekonom pun buka suara mewanti-wanti obligasi tersebut
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengatakan penting untuk membangun kepercaayaan pasar dalam menerbitkan obligasi.
Dalam hal ini, Rizal menilai Danantara perlu mengelola market-nya agar dapat terus memiliki kepercayaan terhadap Patriot Bond.
"Mungkin terlalu dini ya, Patriot Bond dikeluarkan oleh Danantara karena respons market juga belum teruji. Tentu mitigasi dari aspek kapitalnya harus diperkuat, karena kalau sustainability dari market-nya tidak teruji, kemudian juga bisa berpengaruh kepada produktivitas di Danantara itu sendiri. Karena bicara bond itu 'kan trust dari market," ujar Rizal kepada detikcom, Kamis (28/8/2025).
Lebih lanjut Rizal bilang, Danantara perlu punya skema lain dalam menerbitkan obligasi ini. Sedangkan sensitivitas dan nilai kompetitif dari surat obligasi ini di sektor keuangan belum prudent.
"Mestinya Danantara punya skema lain yang bisa menguatkan agar Patriot Bond ini bisa kuat karena ini 'kan sangat cepat mengeluarkan bond yang notabene sensitivitas terhadap perubahan di sektor keuangan itu masih belum prudent. Sehingga kekuatan dan competitiveness di market masih belum teruji," terangnya.
Rizal mengatakan seharusnya Danantara perlu mendorong sektor ril untuk dapat memperkuat obligasinya. Hal ini lantaran produk bisnis dari Danantara, misal BUMN, seharusnya bisa menstimulus sektor ril juga, selain dari sektor keuangan.
"Buat bond juga boleh, hanya saja Danantara mestinya justru dorongnya ke sektor ril. Itu menurut saya, bond ini kuat kalau sektor rilnya juga kuat. Jadi, kenapa SWF (Sovereign Wealth Fund) ini tidak dialokasikan kepada sektor-sektor yang bisa menciptakan sektor ril yang kuat, yang produktivitasnya lebih baik. Terutama BUMN-BUMN yang masuk di Danantara itu," tutupnya.
Proteksi buat Konglomerat
Senada, Direktur Eksekutif dari Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira menilai Patriot Bond bisa 'merebut' dana deposito perbankan, dan ujung menganggu kredit perbankan.
"Karena bentuknya adalah nasionalisme dibungkus paksaan ke konglomerat untuk membeli Patriot Bond, maka cara paling cepat adalah memindahkan dana deposito. Kalau itu yang terjadi, maka tekanan likuiditas ke bank akibat crowding out Danantara bakal ganggu penyaluran kredit perbankan," terang Bhima kepada detikcom di hari yang sama.
Bhima bilang, transmisi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ke bunga kredit bank bisa tertunda. Terlebih kondisi saat ini, Bhima bilang, perbankan sudah berebut dana dengan kebutuhan pemerintah untuk menerbitkan surat berharga negara (SBN), ditambah hadirnya obligasi dari Danantara yang pasarnya adalah pembeli dalam negeri.
Selain itu, Bhima menilai Patriot Bond cenderung memaksa konglomerat bukan karena imbal hasil yang kompetitif. Bhima mengindikasikan, pembelian obligasi ini bisa dijadikan cara agar pengusaha tertentu bisa mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
"Patriot bond cenderung memaksa konglomerat, bukan karena daya tarik Danantara menawarkan proyek dengan imbal hasil yang kompetitif. Pembelian Patriot bond bisa dijadikan cara agar pengusaha tertentu dekat dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah," ujarnya.
"Konglomerat yang beli Patriot bond sebenarnya membeli 'asuransi' karena dianggap telah membantu Danantara, sehingga sebaliknya, mendapat konsesi hingga proteksi dari pemerintahan Prabowo," tutur Bhima.
Tonton juga video "Menlu Sugiono Ajak Jerman Perbanyak Investasi Lewat Danantara" di sini:
(hns/hns)