Dalam laporan yang diterbitkan Kearney yang bertajuk Indonesia's Pathway to Net Zero 2060 dijelaskan ada tantangan besar yang dihadapi untuk menyeimbangkan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Investasi yang tepat sasaran dapat menciptakan masa depan Indonesia yang lebih ramah lingkungan dan resilien. Laporan Kearney menyoroti pada perlunya Indonesia untuk melakukan investasi strategis sebesar US$2,4 triliun antara tahun 2022 dan 2060 di berbagai sektor utama, termasuk agriculture, forestry, and other land use (AFOLU), energi, transportasi, limbah, dan industries process and production use (IPPU). Investasi besar ini, yang rata-rata berjumlah U$62 miliar per tahun, akan sangat penting bagi Indonesia dalam mencapai target ambisinya terhadap iklim.
"Investasi makro merupakan tulang punggung pertumbuhan inovasi dan ekonomi yang berkelanjutan," kata Presiden Direktur Kearney Indonesia Shirley Santoso dalam siaran pers, Jumat (13/9/2024).
Menurut dia dengan mengarahkan sumber daya ke sektor-sektor yang memiliki dampak signifikan dengan potensi pertumbuhan yang tinggi, kita dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, mengurangi kemiskinan, dan mendorong inovasi yang sejalan dengan tujuan keberlanjutan global.
"Investasi ini penting untuk memastikan masa depan Indonesia yang resilien dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan mengamankan posisi kepemimpinan negeri ini di pasar global," ujar dia.
Laporan ini menyoroti pentingnya investasi di beberapa bidang,energi terbarukan. Indonesia perlu beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, termasuk tenaga surya, angin, air, dan panas bumi. Hal ini akan memerlukan investasi besar di sektor infrastruktur energi dan pengembangan teknologi. Laporan tersebut mencatat bahwa bauran listrik di Indonesia sangat condong ke arah bahan bakar fosil. Pada tahun 2022, hanya 15% kapasitas listrik yang terpasang di Indonesia berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Kemudian transportasi berkelanjutan. Indonesia harus berinvestasi pada kendaraan listrik, biofuel, dan infrastruktur transportasi umum untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi. Laporan ini menyoroti bahwa sistem transportasi umum di Indonesia sering kali terbatasi karena adanya jangkauan yang buruk, kurang dapat diandalkan, kelayakan armada yang kurang optimal, dan kurangnya sistem tarif yang terintegrasi.
Meskipun pemerintah telah berinvestasi pada jalan tol, angkutan umum, dan mempromosikan kendaraan listrik, angkutan umum perlu terus ditingkatkan dalam hal jangkauan, pergerakan menuju emisi yang lebih rendah atau tanpa emisi, dan integrasi yang baik antara transportasi multi-moda dan sistem tarif, serta reliabilitasnya.
Selanjutnya pengelolaan sampah. Investasi besar juga diperlukan dalam meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah, mendorong aktivitas daur ulang, dan mengurangi emisi metana dari lokasi pembuangan sampah. Laporan tersebut mencatat hanya 10% sampah di Indonesia yang didaur ulang.
Lalu teknologi yang ramah lingkungan: Investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan juga diperlukan, termasuk hidrogen, carbon capture and storage (CCS), dan praktik pertanian berkelanjutan sangat penting untuk dekarbonisasi jangka panjang. Hidrogen ramah lingkungan dapat menjadi pendorong utama upaya dekarbonisasi Indonesia dalam jangka panjang.
"Indonesia memiliki peluang emas untuk menjadi pemimpin global di sektor teknologi ramah lingkungan," ujar Principal di Kearney Indonesia Som Panda. Menurut dia berinvestasi pada hidrogen, flow batteries untuk kendaraan listrik, dan direct air CCS dapat membuka potensi dekarbonisasi yang sangat besar dan memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam inovasi berkelanjutan.
Teknologi-teknologi ini tidak hanya berpotensi dapat mengurangi emisi tetapi juga dapat menciptakan industri baru, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Fokus yang kuat pada penelitian dan pengembangan di bidang-bidang tersebut sangatlah penting bagi Indonesia dalam mencapai tujuan ambisiusnya pada iklim dan mengamankan posisinya yang terdepan dalam hal ekonomi hijau secara global," jelas dia.
(kil/kil)