Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, langkah tersebut merupakan pilihan terakhir bagi negara untuk dapat memperoleh saham 51% tersebut jika Pemerintah Pusat, Pemda dan Pemprov, Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak berminat untuk membelinya.
"Sebenarnya itulah pilihan terakhir, seringkali walaupun divestasi sesuai harga pasar atau share market value tapi tidak deposit dalam tanah, karena belum dilakukan apa-apa. Dan negara tidak pernah itu diberikan, dikasihkan, atau disumbangkan sebagai kekayaan korporasi," ungkap Jonan di Kantornya, Kamis (26/1/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun mengatakan, bahwa nantinya mekanisme IPO ini bakal mengikuti ketentuan aturan pasar modal, termasuk ke bidang pengawasannya seperti pada aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Ini kan tergantung aturan pasar modal, tanya OJK (bagaimana pengawasannya), gampang kan," kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, aturan divestasi tersebut akan dilakukan secara bertahap hingga 10 tahun setelah perusahaan tersebut memiliki produksi.
"Yang (dilihat) 51% setelah 10 tahun produksi," kata dia.
Dalam aturan tersebut tertera, Pmegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dan IUP Khusus Operasi Produksi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) wajib melakukan divestasi lima tahun setelah berproduksi dengan total 51%. Pelaksanaan divestasi ini rencananya dilakukan dalam lima tahap, di mana divestasi sebesar 51% dilakukan pada tahun ke-10 setelah berproduksi.
Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi pada tahun ke-5 (kelima) sejak berproduksi sahamnya telah dimiliki paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) oleh Penanam Modal Dalam Negeri tidak diwajibkan untuk melaksanakan Divestasi Saham.
Divestasi Saham secara bertahap kepada Peserta Indonesia tidak boleh kurang dari persentase sebagai berikut:
a. tahun keenam 20%
b. tahun ketujuh 30%
c. tahun kedelapan 37%
d. tahun kesembilan 44%, dan
e. tahun kesepuluh 51% dari jumlah seluruh saham. (ang/ang)