Dikutip dari informasi yang dirangkum detikFinance, ada beberapa alasan mengapa proses akuisisi perlu dilakukan lebih cepat. Pertama transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah membutuhkan investasi besar sekitar US$ 5 miliar hingga 2022. Investasi ini berpotensi terhambat 5-10 tahun apabila terjadi proses arbitrase, tanpa adanya kepastian perpanjangan izin operasi PTFI, termasuk terganggunya rencana pembangunan smelter.
Kedua, apabila investasi baru dimulai kembali di 2022, akan dibutuhkan waktu lebih dari 5 tahun untuk menggantikan waktu investasi yang hilang, dan akan menyebabkan opportunity lost bagi pemerintah, NPV (Net Present Value) dari proyeksi pendapatan pajak dan royalti Pemerintah Indonesia dari Tambang Grasberg antara 2018-2026 yang diestimasikan kurang lebih US$ 6,3 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, jika Indonesia tidak memperpanjang operasi PTFI, dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan block caving yang dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika ini terjadi pemerintah harus mengeluarkan biaya mahal untuk pemulihan operasional tambang. Metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia.
Disampaikan Inalum, akan ada dampak sosio-politik akibat dari berhentinya operasi PTFI akan sangat besar terhadap Papua, dimana 45% GDP provinsi dan 90% GDP Kabupaten Mimika bersumber dari operasional PTFI.
Alasan terakhir, di tahun 2021, proses akuisisi PTFI sendiri tidak akan didapatkan secara gratis. Berdasarkan kontrak karya PTFI, pemerintah harus membeli seluruh kekayaan PTFI yang bergerak maupun tidak bergerak, dengan nilai tidak lebih rendah dari book value.
Merujuk pada KK pasal 22-2 (Termination Value), di akhir masa kontrak semua asset PTFI akan ditawarkan ke pemerintah minimal sama dengan harga pasar atau harga buku. Jika pemerintah tidak berminat, maka aset tersebut bisa ditawarkan ke pasar. Di tahun 2017 nilai buku aset PTFI ada di kisaran US$ 6 Miliar atau setara Rp 86 Triliun.
Jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai 2041 maka perbedaan pengertian itu dijadikan landaskan dasar bagi Freeport untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Sementara peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase itu tak terjamin 100%.
Sementara itu, menurut Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro, meski seandainya Indonesia menang dalam arbitrase, pemerintah tidak serta merta bisa mendapatkan 51% saham PT Freeport Indonesia secara gratis.
"Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar 6 miliar dolar AS," ungkap Komaidi. (idr/hns)











































